Friday 20 March 2015

sjarah lisan masyarakat dayak kantok menetap di hilir sungai boyan( salah satu daerah kapuas hulu)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Masyarakat merupakan satu kesatuan yang hidup saling berdampingan dan saling membutuhkan. Setiap lingkungan masyarakat memiliki kondisi tersendiri sesuai dengan letak wilayah masyarakat tersebut. Begitupula lah yang terjadi disalah satu kabupaten kapuas hulu kecamatan Boyan Tanjung. Terutama masalah subsuku dayak kantok yang ada dikecamatan Boyan Tanjung.
Masyarakat dayak yang mempunyai ciri khas yaitu menetap dan tingal di hulu sungai ternyata ada yang menetap di hilir sungai khususnya di kecamatan boyan tanjung. Sedangkan yang kita ketahui masyarakat dayak sangat menyenagi dihulu sungai tapi mengapa keadaan ini bisa ada terjadi di kecamatan Boyan Tanjung ada apa yang menyebabkan didaerah tersebut.
 Jika dilihat dari kondisi sekarang antara kehidupan dayak kantok yang di hilir sungai dengan masyarakat melayu disekitarnya, kehidupan mereka sangat baik dan tentram tapi setelah saya mulai menyelusuri terdapat beberapa keganjalan tentang kehidupan dayak kantok yang menetap di hilir sungai. Inilah alasan mengapa saya bersemangat sekali untuk menelti keadaan tersbut.
Dikecamatan boyan tanjung yang mempunyai delapan belas desa (18) hanya satu yang beragama non muslim yaitu dayak kantok tersebut dayak yang menetap di hilir sungai. Inilah yang menjadi keunikan tersendiri di kecamatan tersebut. Kita tahu yang namaya dayak mereka selalu hidup berumpun sesama dayak bahkan kantok memang dikatakan sanagat dekat sekali dengan dayak iban namun kali ini sangat berbeda sekali dengan dayak kantok boyan mereka malah hidup berumpun sesama orang melayu.


B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka masalah umum dalam penelitian ini adalah kondisi sosial masyarakat Suku Dayak Kantok Di Hilir Sungai Boyan Kecamatan Boyan Tanjung Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 1990
Selanjutnya masalah tersebut dibagi sub-sub masalah, yakni sebagai berikut :
1.      Mengapa masyarakat dayak kantok menetap di hilir sungai boyan?
2.      Bagai mana proses kedatangan masyarakat dayak kantok dihilir sungai boyan.?
3.      Seperti apakah kehidupan masyarakat dayak kantok sekarang ini yang berada dihilir sungai boyan.?


C.    Tujuan penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Menyelamatkan kenbudayaan masyarakat dayak Kantok yang berada di Hilir sungai Boyan
2.      Membina kelangsungan hidup masyarakat dayak dayak kantok di hilir sungai Boyan.
Adapun secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui Mengapa masyarakat dayak kantok menetap di hilir sungai boyan.!
2.      Memahami Bagai mana proses kedatangan masyarakat dayak kantok dihilir sungai boyan.!
3.      Mengetahui Seperti apakah kehidupan masyarakat dayak kantok sekarang ini yang berada dihilir sungai boyan.!

D.    Manfaat penelitian
Sebagaimana yang telah diungkapkan diatas bahwa dalam kegiatan selain mempunyai tujuan, juga mempunyai manfaat, secara umum melalui penelitian ini diharapkan nantinya mampu memberi manfaat kepada peneliti generasi-generasi berikutnya, khususnya pengetahuan kesejarahan mengenai Suku Dayak Kantok Di Hilir Sungai Boyan Kecamatan Boyan Tanjung Kabupeten Kapuas Hulu.

Adapun secara khusus, manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Manfaat teoritis
a.       Manfaat ini dapat dimanfaatkan sebagai wadah pengembangan Ilmu Pengetahuan Sosial dan menambah wawasan keilmuan sejarah, khususnyan yang berkaitan dengan suku dayak Kantok di desa Boyan Kecamatan Boyan Tanjung Kabupaten Kapuas Hulu.
b.      Sebagai wadah referensi untuk mengkaji permasalahan yang sama dengan lingkup yang luas.
c.       Menambah pengetahuan menyusun karya ilmiah dalam metodologi, terkait dengan suatu norma tata tulis.
2.      Manfaat praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini sebagai berikut :
a.       Menambah wawasan secara sistematis, praktis dan ilmuah
Adapun manfaat khusus, dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui keseluruhan Mengapa masyarakat dayak kantok menetap di hilir sungai boyan dan mengetahui bagaimana kehidupan terdahulu dan sekarang ini
2.      Agar pembaca mengetahui disuatu daerah Setiap lingkungan masyarakat memiliki kondisi tersendiri sesuai dengan letak wilayah masyarakat itu tersebut.
3.      Berharap bisa menambah wawasan pembaca dan bisa lebih mencintai keberagaman subsuku yang ada dikalimantan barat
E.   Ruang lingkup penelitian
Sebuah penelitian sejarah bila akan disusun sebagai hasil karya ilmiah sejarah, maka diperlukan adanya pemnbatasan ruang lingkup yang akan diteliti. Ruang lingkup peneliti ini mencakup raung lingkup spasial, temporal dan material. Supaya tidak terjadi salah pengertian tentang judul penelitian ini dan tidak meluas, maka adanya pembatasan ruang lingkup tentang Suku Dayak Kantok Di Hilir Sungai Boyan Kecamatan Boyan Tanjung Kabupaten Kapuas Hulu.
1.      Lingkup Spasial
Adalah hal yang berkaitan dengan batasan daerah dimana suatu peristiwa sejarah terjadi. Pada penelitian ini wilayah yang penulis maksud adalah Kabupaten Kapuas Hulu khususnya Kecamatan Boyan Tanjung Provinsi Kalimantan Barat.
2.      Lingkup Temporal
Temporal adalah berkaitan dengan batasan waktu penelitian. Dalam penelitian ini waktu yang dimaksud adalah tahun 1990.
3.      Lingkup Material
Lingkup material dalam penelitian ini adalah Suku Dayak Kantok Di Hilir Sungai Boyan Kecamatan Boyan Tanjung Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini yang berjudul Kondisi Sosial Masyarakat Suku Dayak Kantok di Hilir Sungai Boyan Kecamatan Boyan Tanjung Kabupaten Kapuas Hulu peneliti banyak mengunakan data primer yaitu sistem wawancara. Sasaran dalam wawan cara adalah yang mengetahui kondisi masyarakat dayak kantok dihilir sungai. Adapun yang hidup pada zaman tersebut hanya ada beberapa orang salah satu adalah Pak Abdul Rahmen, Pak Sukri, dan Pak Hazim.
Adapun penjelasan mereka mengenai dayak kantok hilir sungai Boyan adalah menceritakan kondisi masyarakat dayak kantok dan dayak iban yang gemar sekali berperang ngayau salah satu cerita mereka adalah Menurut cerita pak Abdul Rahman semakin banyak lelaki yang membuh orang maka semakin banyak pulalah wanita yang menyukai oang tersebut karena diangap perkasa bagi kaum waniata. Bahkan persyaratan bagi lelaki yang hendak menikah mereka harus ada membunuh dan mempunyai potongan kepala orang yang terbunuh tersebut.
Pada masa lalu, sekitar tahun 1900-an suku Dayak Kantuk sering terjadi pertikaian dengan suku Dayak Iban. Tradisi kayau atau mengayau sering terjadi di antara kedua suku dayak ini. Kadaan inilah sebenarnaya menunjukan bahwa sesunguhnya dayak kantok kalah berperang melawan suku dayak iban sehinga mereka menetap dan tingal di hilir sungai boyan demi mencari aman dari ganguan pihak musuh. Suku dayak akantok menetap dihilir sungai boyan sebenarnaya tidak terlepas dari beberapa alasan pertama, mereka tidak mau suku mereka punah dan habis akibat ngayau tersebut, untuk menjaganya mereka mau tak mau harus menetap dihilir sungai boyan demi kelangsungan suku mereka. Kedua’’ mudur dan menetap kehilir sungai boyan adalah langkah sebagi strategi mereka untuk membalaskan dendam mereka.
menurut pak Hazim dayak kantok memang kalah ngayau melawan suku dayak iban, karena boyan tanjung yang begitu luas hanaya ada satu suku dayak yaitu orang kantok, sedangkan dayak iban terus bergerak kehulu bahkan di temukan sekarang dayak iban banyak terdapat di daerah Suahid dan Selimbau.
Sedangkan menurut reverensi dari internet adalah menceritakan tentang dayak sebagai berikut:
Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan provinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.
Ciri-ciri kehidupan orang dayak juga tergabung kedalam reverensi internet juga. Yang mana menjelaskan dan memperkuat cerita dari nara sumber tetua masyarakat kecamatan Boyan Tanjung sebagai tetangga masyakat dayak kantok yang berada dihilir sungai.
Dalam buku metiodologi juga menjelaskan tentang tatacara penelitian yang saya lakukan untuk dapat memaparkan kedalam pembahsan saya pada poin yang berikutnya.















BAB III
METODOLOGI PENELITAN
A.    Heuristik (Pengumpulan Sumber)
Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk berburu dan mengumpulkan berbagai sumber data yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti misalnya dengan melacak sumber sejarah tersebut dengan meneliti berbagai dokumen, mengunjungi situs sejarah dan mewawancarai para saksi sejarah.
Dalam pengumpulan data peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) . Panduan Observasi
Dalam penelitian ini pedoman observasi yang akan digunakan oleh peneliti adalah dalam bentuk chek list (daftar chek), yang terisikan gejala-gejala yang khusus diamati. Zuldafrial menyatakan (2010: 49) ‘’chek list adalah suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek dan factor-faktor yang hendak diselidiki, yang dimaksud untuk mensistematiskan catatan observasi’’. Pihak yang akan di observasi dalam penelitian ini adalah pihak balai kajian sejarah  Kota Pontianak.

2)      Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji menafsirkan bahan untuk meramalkan (Zuldfrial, 2011: 96) karena alasan yang dapat di pertanggungjawabkan seperti beerikut:
a.       Dokumen dan record digunakan karena meupakan sumber yang stabil, kaya, dan mendorong.
b.      Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian.
c.       Keduanya berguna dan sesuai dengan penelitian karena sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks.
d.      Record relative murah dan tidak sukar diperoleh, tetapi dokumen harus dicari dan ditemukan.
e.       Keduanya tidak reaktif sehingga tidak sukar ditemukan dengan teknik kajian isi.
f.       Hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas tumbuh pengetahuan terhadap sesuatu yang di selidiki.
Adapun dokumentasi dalam penelitian ini adalah Buku-buku sejarah lokal mengenai sejarah Kabupaten Sambas, buku yang berkaitan dengan sejarah perjuangan masyarakat Sambas dalam mempertahankan kemerdekaan terhadap sekutu dan NICA tahun 1945-1949.




B.       Kritik
Kritik merupakan kemampuan menilai sumber-sumber sejarah yang telah dicari (ditemukan).
Kritik sumber sejarah meliputi kritik Ekstern dan kritik Intern.
a.          Kritik Ekstern
     Kritik ekstern di dalam ilmu penelitian ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslian atau keuntentikan bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen dan naskah. Bentuk penelitian yang  dapat dilakukan sejarawan, misalnya tentang waktu pembuatan dokumen itu sendiri. Sejarawan dapat juga melakukan kritik ekstern dengan menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia dokumen. Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan mengidentifikasi tulisan tangan, tanda tangan, materi, atau jenis hurufnya.
     Secara teknis eksternal telah dikembangkan sejak Renaissance. Ini merupakan manifestasi serta salah satu cirri berfikir modern, karena didalamnya terkandung essensi berfikir kritis. Pada abad ke-17 prinsip-prinsip ini oleh mahsab Benedictines dikembangkan lebih lanjut menjadi suatu perangkat penelitian terutama dalam penelitian sejarah. Bagi para peneliti sejarah pemahaman terhadap kritik ekstern dan kritik intern ini menjadi suatu tuntutan, agar dengan demikian dapat ditanamkan dan dikembangkan kebiasaan berfikir kritis (Robert Jones Shafer, 1974: 117).
Kritik eksternal ingin menguji otentitas (keaslian) suatu sumber, agar diperoleh sumber yang sungguh-sungguh asli dan bukanya tiruan atau palsu. Sumber yang asli biasanya waktu dan tempatnya diketahui. Makin luas dan makin dapat dipercaya pengetahuan kita mengenai sumber, akan maki asli sumber tersebut.

b.      Kritik Intern
Seperti halnya kritik ejsternal secara tekhnis kritik internal dikembangkan pula sejak Renaissance.  Berbeda dengan kritik ekstern yang lebih menitikberatkan pada uji fisik suatu dokumen, kritik internal ingin menguji lebih jauh lagi mengenai isi dokumen. Ialah ingin mempertnyakan, apakah isi informasi yang terkandung dalam suatu dokumen benar dan dapat dipercaya, kredibel dan reliable. Sebagai suatu kritik, kritik internal lebih ‘’hinger’’, sebagai hinger criticism.
        Setelah selesai menguji otentisitas (keaslian) suatu sumber, maka pendiri atau sejarawan harus melangkah ke uji yang kedua, ialah uji kredibilitas atau sering juga di sebut uji realibilitas. Artinya peneliti atau sejarawan harus menentukan seberapa jauh dapat dipercaya (credible atau reliable) kebenaran dari isi informasi yang disampaikan oleh suatu sumber atau dokumen sejarah. Untuk menentukan kredibilitas atau reliabilitas sumber atau dokumen dipergunakan kritik internal.
        Kritik internal adalah uji kebenaran mengenai informasi suatu dokumen. Mengenai kebenaran (the truth) itu sendiri merupakan suatu masalah yang tidak pernah tuntas untuk dibahas. Kebenaran yang berhasil ditangkap oleh seseorang terhadap suatu gejala atau  fenomena banyak bergantung terhadap persepsi, dan persepsi banyak dipengaruhi oleh latar belakang budaya, agama dan kehidupanya.
        Sasaran kritik internal adalah uji kredibilitas informan atau pengarang sumber atau dokumen. Uji kredibilitas berupaya untuk menguji:
1. Kemampuan untuk melapor atau menulis dokumen secara akurat, dan
2. Kemauan utuk melapor atau menulis dokumen dengan benar.

C.          Interpretasi
Interpretasi adalah upaya penafsiran atas fakta-fakta sejarah dalam kerangka rekonstruksi realitas masa lampau. Fakta-fakta sejarah yang jejak-jejaknya masih Nampak dalam berbagai peninggalan dan dokumen hanyalah merupakan sebagian dari fenomena realitas dan masa lampau, dan yang harus disadari bahwa fenomena itu bukan realitas masa lampau itu sendiri. Masa lampau adalah tetap masa lampau, dan tak akan menjadi realitas lagi. Tugas interpretasi adalah memberikan penafsiran dalam keranka memugar suatu rekonstruksi masa lampau. Fakta-fakta sejarah dalam kaitanya dengan tugas atau fungsi rekonstruksi adalah hanya sebagai  sebagian bukti di masa sekarang bahwa realitas masa lampau pernah ada ddan pernah terjadi. Fakta-fakta sejarah di samping tidak lengkap, lebih sering lagi tidak teratur dan berserakan. Hilang berbagai fakta sejarah juga menjadi sebab hilangnya makna relasi (hubungan) antar bagian-bagian dari realitas masa lampau.
Proses interpretasi merupakan proses kerja yang melibatkan berbagai aktivitas mental seperti seleksi, analisis, kompaasi, serta kombinasi, dan bermuara pada sintesis. Pendek kata, interpretasi tidak lain adalah proses analisis –analisis. Keduanya merupakan kegiatan yang tak terpisahkan yang satu dengan yang lain dan keduanya saling menunjang. Untuk melaksanakan kegiatan analisis-sintesis terdapat dua prakegiatan yang mendahuluinya, ialah pencernaan (digestion) dan hipotesis kerja, sehingga seluruh proses kerja interpretasi ini akan terdiri dari kegiatan-kegiatan:
1. Pencernaan (digestion);
2. Menentukan hipotesis kerja;
3. Proses analisis-sintetis; dan
4. Proses interpretasi dan organisasi.
     Interpretasi sejarah dalam abad ke-19 banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran idealis dan tokoh utamanya Whilhelm Dilthey (1833-1911). Menurut aliran idealis ini interpretasi sejarah tidak lain sebagai upaya pemahaman (verstehen) terhadap realitas kehidupan manusia. Sedang sejarawan professional abad ke-20 lebih mengertikan interpretasi sejarah dari aspek personal. Interpretasi sejarah lebih merupakan produk penilaina pribadi terhadap realitas sejarah, karenanya interpretasi lebih tentative (Harry Ritter, 1986: 245-246).

D.         Historiografi (Penulisan Sejarah)
Penulisan sejarah (Historiografi) menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji (verifikasi) dan diinterpretasi. Kalau penelitian sejarah bertugas merekontruksi sejarah masa lampau, maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut ditulis.
Penulisan sejarah tidak semudah dalam penulisan ilmiah lainya, tidak cukup dengan menghadirkan informasi dan argumentasi. Penulisan sejarah, walaupun terikat pula oleh aturan-aturan logika dan bukti-bukti empitik, tidak boleh dilupakan bahwa ia adalah juga karya satra yang menuntut kejelasan struktur dan gaya bahasa, aksentuasi serta nada retorika tertentu. Apabila sejarawan mampu menampilkan kejelasan, keteguhan dan kekuatan, serta nada retorika tertentu. Apabila sejaraewan mampu menampilkan kejelasan , keteguhan dan kekuatan, serta kerapian dalam ekspresi penulisan, ia akan mampu mencapai apa yang menjadi dambaan setiap sejarawan, yakni memadukan kesejarawanan dan kesastraan, antara keahlian dan ekspresi bahasa.
Karya penulisan penelitian sejarah dapat mengambil beberapa bentuk seperti paper, ertikel, atau buku, bahkan dalam bentuk buku-buku yang berjilid-jilid. Masing-masing buku bentuk memuliki prinsip-prinsip yang berbeda, menuntut komposisi dan gaya bahasa, serta jenis-jenis kerja yang berlainan pula. Dalam penulisan ini lebih difokuskan pada prinsip-prinsip umum penulisan sejarah ilmiah pada umumnya.
Penulisan sejarah dapat dikembangkan melalui tiga katagori bentuk penulisan, ialah secara naratif, deskriftif, dan yang kini semakin popular adalah secara analitik (G.R. Elton, 1967:118). Pada dasarnya perbedaan dari ketiga bentuk penulisan ini tidaklah terlalu nyata, namun berguna untuk mengilsustrasikanya.
a. Model penulisan Naratif
     Model penulisan naratif dipergunakan untuk mengisahkan suatu cerita dan alur peristiwa-peristiwa menurut sekuensi waktu.
b. Model penulisan Deskriftif
Penulisan deskriftif berupaya membentangkan masa lampau tanpa dengan memberikan dimensi perubahan-perubahan dalam waktu.
c. Model penulisan analitik
     Penulisan disini sejarawan perlu pula menggunakan bentuk retorik dalam
karya tulisnya. Ini terutam dimaksudkan untuk membantu dalam upaya menghadapi perlawanan-perlawanan (resistance) terutamayang ditunjukan terhadap metedologi dan kesimpulan-kesimpulan interpretasinya,.




BAB IV
PEMBAHASAN
A.    Masyarakat dayak kantok menetap dihilir sungai boyan
Jika menyebut yang namanya Kalimantan maka dibenak, kita mulai memikirkan suku dayak karena, kita tahu bahwa di Kalimatan Barat memang mayoritas terbanyak adalah suku dayak. Didalam suku dayak terbagi lagi kedalam subsuku. Subsuku inilah yang menyebar dan bermukim di Kalimantan Barat, salah satunya berada di Kabupaten Kapuas Hulu tepatnya kecamatan Boyan Tanjung.
Kabupaten Kapuas Hulu merupakan Daerah Tingkat II dengan ibukota Putussibau yang terletak di Hilir Muara Sungai Sibau yang bermuara di sungai Kapuas. Kabupaten Kapuas Hulu memiliki luas wilayah seluas 29.842 km2 atau 20,33% dari luas Propinsi Kalimantan Barat (146.807 km2). Kecamatan  yang ada di kapuas hulu 23 kecamatan yaitu Silat Hilir, Silat Hulu, Bunut Hulu, Mentebah, Manday, Kalis, Putussibau, Kedamin, Embaloh Hilir, Bunut Hilir, Boyan Tanjung, Embau, Batu Datu, Hulu Gurung, Selimbau, Seberuang, Semitau, Suhaid, Empanang, Puring Kencana, Badau, Batang Lupar, dan Embaloh Hulu.
Suku Dayak di Kapuas Hulu terdiri dari 20 subsuku, yakni Dayak Suaid, Kantu, Seberuang, Kalis, Lau, Suru, Mentebah, Tamambalo, Ensilat, Mayan, Sekapat, Desa, Punan, Buket, Taman, Kayaan, Rembay, Sebaru, Iban, dan Oruung Da’an.
Populasi orang Dayak Kantuk dikatakan sekitar 2000 orang, tapi sebenarnya jumlah orang Dayak Kantuk lebih dari itu, karena banyaknya orang Dayak Kantuk yang tersebar di luar kabupaten Kapuas Hulu, Suku Dayak Kantuk memiliki kerabat dekat dalam rumpun yang sama, yaitu dengan suku Dayak Iban dan serumpun dengan dayak kantok ini. Dayak kantok ini merupakan kelompok atau himpunan yang tertingal dari dayak kantuk yang ada di kapuas hulu.
Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan provinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.
Adapun kutipan diatas pada paragrap ketiga yang mengatakan ‘’daya’’ yang mempunyai arti hulu itu mengatakan bawa dayak mempunyai ciri kas menetap dan tingal di hulu sungai namun kali sangat berbeda dengan dayak kantok satu ini yang berada di kecamatan boyan tanjung malah mentap dihilir sungai boyan.

 Adapun penyebab mengepa dayak kantok menetap di hilir sungai tersebut adalah

1.      Ngayau
Kecamatan Boyan Tanjung yang terdiri dari 18 desa yang sekarang ini dan mayoritas muslim adalah dahulunya merupakan tempat orang dayak atau subsuku dayak. Sebelum kedatangan suku melayu atau agama islam keadaan sosial masyakat dayak sangat hancur karena kondisi mereka yang gemar sekali bunuh membunuh sesama suku dayak tersebut.
Bahkan dikatakan menurut pak Abdul Sukur yang sekarang ini berusia hampir 90 tahun, mengatakan bahwa ada subsuku dayak yang gemar sekali menyelusuri sungai Kapuas sampai kesungai kecil demi untuk mencari lawan dan ingin diakui bawa suku mereka yang terkuat dan tak terkalahkan.
Suasana bunuh- membunuh dalam fase ini sangat tidak asing lagi bahkan ini sudah menjadi tradisi budaya dalam subsuku dayak, keadaan inilah dikatakan ngayau. Menurut cerita pak Abdul Rahman semakin banyak lelaki yang membuh orang maka semakin banyak pulalah wanita yang menyukai oang tersebut karena diangap perkasa bagi kaum waniata. Bahkan persyaratan bagi lelaki yang hendak menikah mereka harus ada membunuh dan mempunyai potongan kepala orang yang terbunuh tersebut.
Pada masa lalu, sekitar tahun 1900-an suku Dayak Kantuk sering terjadi pertikaian dengan suku Dayak Iban. Tradisi kayau atau mengayau sering terjadi di antara kedua suku dayak ini. Kadaan inilah sebenarnaya menunjukan bahwa sesunguhnya dayak kantok kalah berperang melawan suku dayak iban sehinga mereka menetap dan tingal di hilir sungai boyan demi mencari aman dari ganguan pihak musuh. Suku dayak akantok menetap dihilir sungai boyan sebenarnaya tidak terlepas dari beberapa alasan pertama, mereka tidak mau suku mereka punah dan habis akibat ngayau tersebut, untuk menjaganya mereka mau tak mau harus menetap dihilir sungai boyan demi kelangsungan suku mereka. Kedua’’ mudur dan menetap kehilir sungai boyan adalah langkah sebagi strategi mereka untuk membalaskan dendam mereka.
menurut pak Hazim dayak kantok memang kalah ngayau melawan suku dayak iban, karena boyan tanjung yang begitu luas hanaya ada satu suku dayak yaitu orang kantok, sedangkan dayak iban terus bergerak kehulu bahkan di temukan sekarang dayak iban banyak terdapat di daerah Suahid dan Selimbau.

Membuktikan dayak kantok memang terlibat dalam perang ngayau dapat dibuktikan ditemukan kuburan benda-benda peralatan rumah mereka dan nama kuburan tersebut biasa penduduk lokal bilang adalah ‘’kuburan gilang’’yaitu didaerah karang raya masih dalam kecamayan boyan tanjung. Kuburan gilang tersebut diceritakan pak Sahak bukan hanya harta bendanya saja tapi ada juga orang pemiliknya yang di kuburkan bersaan dengan benda atau peralatan mereka.
Fungsi dan tujuan dikuburkan benda peralatan rumah mereka supaya keberadaan mereka tidak di ketahui oleh musuhya maka dengan cara itu mereka ketika mereka selamat dari ganguan musuhya mereka bisa mengambilya lagi dan dipergunakan selayaknya mereka pakai biasanya.
Masyarakat Karang Raya memang mengetahui bawa daerah tersebut merupakan temapat penguburan benda-benda orang dayak yang mati dibunuh pada peristiwa ngayau tersebut . bahkan lebih menguatkan lagi ketika ada pemgarapan jalan oleh benda berat seperti exskapator yang mengubungkan boyan tanjung dengan Karang Raya masyarakat banyak menemukan peralatan rumah orang terdahulu, yaitu orang dayak. Adapun peralatan tersebut berupa piring, guci atau tempayan keci, mangkok dan lain-lain.
2.        Mempertahankan keturunan suku
Menjaga keturunan atau suku diri sediri merupakan hal yang selayaknya dilakukan apalagi kita tahu suku dayak sangat takut sekali jika sukunya itu punah. Mempertahankan suku salah satu juga faktor yang terjadi di dayak katok di kecamatan Boyan Tanjung demi menjaga kelestarian sukunya mereka memilih menetap di hilir sungai karena berberapa masalah yang terjadi pada zaman itu.
Ketika suku dayak kantok hampir punah akibat kalah perang ngayau melawa suku daya iban kantok memilih mundur dan menetap dihilir sungai demi menjaga kelangsungan suku tersebut perlahan-lahan jumlah suku dayak kantok tersebut semakin hari semakin bertambah jumlah baik jumlah perorang maupun penduduknya.
Kondisi sosial masyakat terdahulu sangatlah buruk yang mana sistem yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat dayak adalah sistem rimba, yaitu siapa yang kuat itu yang berkuasa dan berjaya samalah dengan kejadian dayak kantok dan dayak iban, yang mempunyai tradisi saling bunuh-membunuh satu sama lain. Sebenarnaya kejadian tersebut adalah merupakan persaingan antar suku dan mencari siapa yang terkuat dari semua suku yang ada di kalimantan barat.
Kalimantan yang begitu luas dan hidup beragam suku ras tentu perbedaan dari pergolongan sudah pasti ada, maka sangat tidak diherankan lagi jika masyarakat dayak mempunyai kebiasaan ngayau, karena banyak sekali faktor yang mendukung suasana tersebut terjadi yang pertama dan paling utama adalah faktor pendidikan.
 Pendidikan sangat mempengaruhi sekali peradaban manusia dimuka bumi ini, jika pun ada pertikayan itu memang sukar sekali diselesaikan secara demokrasi tapi selayaknya jika seorang mempunyai pendidikan tentu suatu permasalahan tidak langsung diselesaikan secara kekerasan, namun melainkan diselesaikan dengan musuarah dan mencari titik temu yang sama tidak saling merugikan dari kedua belah pihak.
Yang kedua adalah faktor hukum yang saling berbeda dari semua subsuku yang ada berbagai daerah seperti salah satunya di kecamatan boyan tanjung. Keadan ini tentu menunjukan bahwa sisitem hukum dirinya sendirilah yang paling benar sehinga sikap yang saling hormat-menghormati antar suku bisa berkurang karena mereka hanya berpedoman pada sistem hukumnya sendiri.
Ketika bangsa indonesia merdeka dan benar-benar terlepas dari penjajahan maka sitem mualai teratur salah satunya sistem hukum yang merata keseluruh bangsa indonesia, perlahan-perlahan masyakat dayak mulai meningalkan kebiasaan yang namanya ngayau, dan menjalankan kehidupan yang saling hormat-menghormati selayaknya yang tertera dalam undang-undang yang berlaku sebagai dasar dari sebuah bangsa.

B.         proses kedatangan masyarakat dayak kantok dihilir sungai boyan.
Menjadi latar belakang dayak kantok dihilir sungai boyan merupakan karena kekalahan dalam melawan dayak iban ketika perang ngayau. Salah satu bukti yang terjadi atau menunjunjukan dayak kantok kalah adalah dayak kantok memang diketahu memiliki ciri selalu hidup berdamping dengan masyarakat dayak iban dan mempunyai kebiasaan hidup dan menetap dihulu sungai namun yang terjadi dilapangan di kecamatan Boyan Tanjung masyarakat dayak kantok malah menetap dihilir sungai sedangkan masyarakat dayak iban terus menelusuri dan sekarang banyak ditemukan di daerah sungai kapuas dan hulu putusibau, kedaan ini sudah barang tentu menunjukan bawa dayak kantok lah yang kalah perang melawan dayak iban pada era tersebut.
Dalam kajiannya tentang suku Dayak Iban, pak Husen mengatakan bahwa berburu kepala semata simbolik berkaitan dengan kesuburan. Paralel-paralel antara kepala manusia dan kesuburan merupakan sesuatu yang sentral dalam pembahasan tentang praktik berburu kepala. pak Husen mengatakan, puncak dari alegori luar biasa yang menjadi hal yang sentral dalam upacara perburuan kepala yang dilakukan oleh orang-orang Iban yang ketika sudah disenandungkan oleh dukun-dukun pembaca mantra, dilakukan oleh calon-calon pemburu kepala, adalah sebuah ritual yang dikenal dengan nama Ngelampang yang secara harfiah berarti mencincang atau memotong menjadi bagian-bagian kecil.
Di dalam bagian alegori ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah kepala tiruan atau antu pala oleh seorang Lang Singalang Burong yaitu dewa perang suku Iban. Lang melakukan ritual ini (sesuatu yang melambangkan pemenggalan kepala musuh yang sesungguhnya) dengan satu tebasan pedang (mandau) yang dilakukannya dengan sangat cepat, dan dari kepala yang dibelahnya itu mengalir benih-benih yang bila ditaurkan akan timbul menjadi sesosok tubuh manusia.
Ketika kalah perang ngayau dayak kantok mulai memikirkan tempat yang aman dimana mereka harus melindungi diri dari ganguan musuh salah satunya adalah menetap dihilir sungai. Adapun alasan mengapa mereka harus menetap di hilir sungai yaitu karena ketakutan mereka akan kepunahan suku mereka akibat perang ngayau melawan suku dayak iban.
Mengapa mereka memilih dihilir sungai karena mereka tahu suku dayak iban akan terus menelusuri sungai dan tak mungkin mereka bakalan berbalik kehilir sungai. Bagi masyarakat dayak iban apabila sungai yang telah dilalu mereka maka tempat itu telah mereka tahlukan.
Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau. Seperti halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk lutut.
 Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak kantok dan Iban kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.
Sebelum ada aturan memberhentikan peristiwa ngayau tersebut berlaku masyarakat dayak terus melakukan ngayau sama hal yang terjadi di kecamatan boyan tanjung hingga membuat dayak kantok menetap dan tingal di hilir sungai demi keamanan dan keberlangsungnya suku mereka yang hampir punah habis akibat perang ngayau tersebut.
Sedangkan kedatangan mereka kehilir sungai melainkan tidak berombongan besar melainkan sisa-sisa dari mereka yang melarikan diri dari perang ngayau tersebut. Menurut pak Hadsen selaku oranr tertua di karang raya kecamatan boyan tanjung juga mengatakan ‘’dayak kantok yang melarikan didiri tersebut, atau sekarang dihilir sungai boyan itu sebenarnaya mereka ingin membalas dendam kepada dayak iban tersebut, mereka memilih dihilir agar mereka bisa merumpun kekuatan baru untuk membalas dendam atas kekalahan tersebut, karena beliau mengatakan mereka mempunyai musuh bubuyutan sekarang berada di hulu putusibau lagi. Kalau mengunakan jalan darat sekitar empat jam dari putusibau untuk datang ketempat tersebut.
Nama boyan bukan lah nana yang sebenarnya itu nama sebagai kepala suku dayak yang berada disitu, nama yang sebenarnya adalah Tanjung Belimbing. Nama Boyan diberikan agar supaya masyarakat dayak iban mau menyerangnya lagi kepada dayak kantok tersebut, arti kata mereka sudah merumpun kekuatan baru, hanya saja mereka belum siap menyerang dayak iban.
Menurut penjelasan pak Rahmen nama Tanjung Belimbing adalah nama daerah yang telah ditahluk oleh dayak iban, makanya dayak kantok tidak mau mengunakan nama itu karena mereka mengiginkan ada serangan lagi dari dayak iban sekaligus mereka bisa membalaskan dendamnya terdahulu.
Namun keadanan berkata lain ketika bangsa indonesia merdeka aturan hukum adat daerah menjadi satu komandan dibawah hukum pemerintah. Sehinga kejadian balas dendam masyarakat dayak katok dihilir sungai boyan terhenti akibat aturan hukum yang mengikat ketidak bergeraknya keinginan masyakat dayak kantok.
Keberadaan dayak kantok dihilir sungai boyan tidak terlepas dari faktor melindungi sukunya dari kepunahan dan balas dendam kepada suku dayak iban. Sehinga menjadikan dayak kantok terkekang dihilir sungai akibat dari perubahan sistem pemerintah yang mensamaratakan hukum warga bagsa indonesia. Keterjebakan masyarakat dayak dihilir sungai akibat perubahan sistem hukum negara, membuat masyarakat dayak kantok mau tak mau harus menetap dihilir sungai dan bermukim jauh dari kelompoknya yaitu sesama masyarakat dayak dan bergabung dengan masyakat melayu sekarang ini.
Kecamatan Boyan Tanjung yang mempunyai enam belas (16) desa dan bermayoritas melayu atau beragama islam hanya satu saja desa yang non muslim yaitu kantok yang berada dihilir sungai, namun keberadaan mereka menununjukan keakuran antara masyarakat melayu dan masyarakat dayak terterang dari seorang tetua sebagai tetanga kampung dayak kantok tersebut yaitu Pak sukri (usianya 89 tahun) mengatakan “setelah kedatangan melayu atau mengenal islam tak pernah terdengar lagi kekacawan masyarakat dayak kantok dengan masyarakat melayu itu tanda menunjukan keakuran masyaraklat dayak kantok dengan masyarakat melayu sekarang ini.
Menurut penjelasan Pak Rahmen kondisi sosial masyarakat dayak atau subsuku dayak berhenti ngayau ketika masyarakat mulai memeluk agama islam atau kedatangan orang melayu kekapuas hulu. Adapun mengenai kapan kedatangan islam atau suku melayu kekecamatan Boyan Tanjung belem dapat dipastikan scara jelas namun dapat di ketahui berhentinya peristiwa ngayau dikecamatn Boyan Tanjung ketika masyarakat banyak memeluk agama islam atau disubut suku melayu sebagai pemisah antara suku dayak yang bukan beragama islam atau melayu sebutan sebagai orang muslim.
Adapun sejarah singkat mengenai kedatangan melayu kekapuas hulu adalah Kedatangan melayu banyak mengubah pola kehidupan masyarakat dayak yang ada di kalimatan apalagi melayu islam. Nama "Malayu" berasal dari Kerajaan Malayu yang pernah ada di kawasan Sungai Batang Hari. Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi bawahan Kerajaan Sriwijaya. Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar Sumatera, mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Jadi orang Melayu Semenanjung berasal dari Sumatera. Sedangkan sejarah islam dalam buku kerajaan sintang menerangkan Proses masuknya budaya Islam ke Kalimantan Barat, termasuk ke Kerajaan Sintang, diyakini melalui aliran Sungai Sambas, kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah, dan Pontianak dengan menyusuri Sungai Kapuas. Selanjutnya, penyebaran dilakukan melalui Sungai Landak masuk ke daerah Tayan, Sintang, dan Nanga Pinoh. Dari daerah Sintang, dakwah Islam menyusuri Sungai Kapuas sampai daerah Putussibau. Penyebaran ini berlangsung sekitar tahun 1500 - 1800 M (Hermansyah, 2006:2-4 dan Syahzaman & Hasanuddin, 2003:30).
Pengaruh Islam mulai masuk ke Kerajaan Sintang ketika kerajaan ini diperintah oleh Raden Purba. Setelah Raden Purba meninggal, tahta Kesultanan Sintang dipegang oleh Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairiwaddin. Sultan Nata merupakan putera dari Mangku Malik dan Nyai Cilik (adik Pangeran Tunggal).
Pemerintahan Sultan Nata ditandai dengan berbagai macam perubahan yang sifatnya mendasar. Perubahan paling signifikan adalah bergantinya bentuk kerajaan menjadi kesultanan dan penyusunan undang-undang kesultanan (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:30). Undang-undang Kesultanan Sintang tersebut memuat tata kehidupan masyarakat Sintang dan adat istiadatnya.
C.    Kehidupan masyarakat dayak Kantok sekarang ini yang berada dihilir sungai Boyan
Kedatangan melayu kekapuas hulu mengubah kehidupan dayak terutama di kecamatan boyan tanjung. Awalnya kehidupan sesama dayak tidak akur akibat saling membunuh satu sama lain, kehidupan dayak ini paling senang membuh diceritakan “apabila seseorang laki-laki sudah dapat satu kepala manusia baru boleh menikah bahkan yang paling banyak membunuh paling disukai wanita karena diangap perkasa” kejadian seperti inilah disebut ngayau.sebelum suku dayak mengenal agama tradisi bunuh membunuh merupakan suatu yang tak asin lagi bahkan mereka mencari lawan dan mendatangi kedaerah-daerah hanya untuk berperang dan saling membunuh semua ini bertujuan supaya mereka diangap suku yang terkuat dari suku yang lain.
Bagi yang kalah akan tergeser dan meningalkan tempatnya. Kejadian inilah mengakibatkan dayak kantok menetap di hilir sungai demi mencari aman dari ancaman musuhnya. Karena subsuku dayak sering bunuh membunuh dan untuk mencari lawan suku ini menelusuri sungai- sungai sampai kehulu sungai. Demi mencari aman dan terhindar dari musuh sub suku dayak kantok Boyan Tanjung memilih dihilir sungai. Suku Dayak Kantuk memiliki kerabat dekat dalam rumpun yang sama, yaitu dengan suku Dayak Iban. Pada masa lalu, sekitar tahun 1900-an puncak suku Dayak Kantuk sering terjadi pertikaian dengan suku Dayak Iban. Tradisi kayau atau mengayau sering terjadi di antara kedua suku dayak ini. Orang Dayak Kantuk bermukim berdekatan dengan wilayah persebaran orang Dayak Iban. Kedua kelompok ini hidup berdampingan, kadang mereka hidup bersahabat, tapi kadang terjadi pertikaian di antara mereka.
Sebelum datangnya melayu (beragama islam)  di kabupaten Kapuas Hulu kehidupan sosial sangat hancur bahkan saling tidak akur antara satu dengan yang lain. Kehidupan sosialnya bersistem rimba, siapa yang kuat itu yang berkuasa. Tragedi kayau mengayau sunguh banyak memakan korban, bahkan masih tersimpan bekas kuburan akibat pertikayan sub suku dayak yang ada di Kapuas Hulu kecamatan boyan tanjung. Nama kuburan itu adalah kubur GILANG. Anehnya isi kuburan tersebut adalah kepala dan harta benda nya saja yang dikubur dalam satu tempat tersebut, menurut pak Sahak salah satu orang tua yang mengetahui kejadian tersebut.
Di kecamatan boyan tanjung ada dua subsuku dayak yaitu punan dan kantok. Punan menetap di hulu sungai boyan kecamatan Boyan Tanjung tepatnya daerah nanga sangan hulunya lagi. sedangkan kantok menetap di hilir sungai sunagi boyan. Namun dayak kantoklah yang paling mudah untuk kita jumpai karena kehidupan mereka mengikuti pola kehidupan orang melayu. Dayak kantok ini lebih terbuka jika dibandingkan dengan dayak punan. Dayak punan katanya hanya orang tertentu saja yang bisa menjumpai. Masyarakat ini sangat primitif sekali bahkan menurut cerita penduduk masyarakat Sangan, selama puluhan tahun mereka disitu belum pernah melihat yang namanya dayak punan. Secara kenyataan dayak punan di Boyan Tanjung keberadaan masih belum dapat dipastikan secara benar.
Dayak kantok yang berada di kecamatan boyan tanjung mengikuti pola kehidupan masyarakat melayu. Pada saat ini banyak dari masyarakat suku Dayak Kantuk tidak tinggal di Rumah Betang lagi, tetapi telah membangun rumah pemukiman seperti bentuk rumah suku Melayu, dalam bentuk rumah panggung biasa. Pada masa lalu sebelum orang Dayak Kantuk masih mengamalkan kepercayaan animisme yaitu percaya terhadap roh-roh dan kekuatan gaib pada benda-benda yang dianggap keramat. Mereka melaksanakan berbagai tradisi adat seperti Nyengkelan Tanah, Tolak Bala, Upacara Kematian dan Upacara Pengobatan. Saat ini suku Dayak Kantuk telah memeluk agama seperti kristen. sehingga beberapa tradisi animisme yang mereka anut pada masa lalu tidak lagi mereka jalankan. Beberapa jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Kantuk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu : berladang, menangkap ikan, berburu binatang liar di hutan, menoreh getah, dan bertambang emas.
Jika kita lihat sekarang antara kehidupan orang melayu dan dayak juga banyak kesamaan salah satunya masyarakat melayu juga suaka berladang dan membangun sebuah pemukliman seperti salah satu tempat saya yang berada di kecamatan boyan tanjung kabupaten Kapuas Hulu. Sejauh ini anatara masyarakat melayu dan masyarat dayak hidup akur dan tentram di kecamatan Boyan Tanjung itu juga menanda bahwa antara masyarakat dayak dan melayu sebenarnya rukun, tapi mengapa justru melayu yang lebih mendominan di kapuas hulu khusnya di kecamatan boyan tanjung. Setelah melakukan penelitan ternyata justru masyarakat sesama dayak lah ada yang berkonflik sehinga ini menjadi paktor utama mengapa dayak yang ada di Kapusa Hulu ada yang hidup di hilir sungai khusunya kecamatan Boyan Tanjung.
Seperti yang terjelaskan dalam pembahasan diatas masyakat dayak dihilir sungai mereupakan masyarakat yang terkekang, dalam arti kata tidak bisa membalaskan dendam kepada dayak iban yang membantai habis mereka, akibat perubahan sistem hukum di indonesia kala saat itu bangsa indonesia mengatakan merdeka. Secara otomatis sistem hukum akan terbenah dan disama ratakan tidak membeda-bedakan suku, budaya, ras, agama, semua tetap dalam komando hukum pemerintah. Maka perlahan-lahan masyarakat dayak kantok mulai meredakan emosi dendam kepada masyakat dayak iban, dan mau tak mau dayak kantok harus terus menetap karena melihat pembangunan rumah mereka memang sudah bagus selayaknya rumah melayu yang ada disekitarnya.
Dari tahun ketahun bulan berganti bulan minggu pun berganti minggu secara perlahan masyarakat dayak kantok mulai munyukai tempat mereka sekarang ini yaitu daerah hilir sungai boyan karena lingkungan menurut mereka sangat baik kepada mereka terutama tetangga yaitu orang-orang melayu. Sekarang melayu dan dayak kantok bercampur baur dalam satu kecamatan dan hudup rukun didalamnya meskipun desa mereka masih berhimpun sesama mereka, namun mereka tetap bergaul dengan baik dengan orang melayu. Jika dilihat dari segi kehidupan masyarakat dayak kantok adalah masyarakat melayu juga namun secara kenyataan dialah masyarakat kantok yang hidup sendiri bersama dengan orang melayu berada di kecamatan Boyan Tanjung. Yang mana bentuk dan arsitektur sama dengan melayu. Kita tahu kalau masyarakat dayak kantok mempunyai ciri rumah pangung yang tingi dan panjang dan hidup dalam satu atap namun berbeda pintu, namun di Boyaan Tanjung hal demikian tidak ada.





BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kabupaten Kapuas Hulu merupakan Daerah Tingkat II dengan ibukota Putussibau yang terletak di Hilir Muara Sungai Sibau yang bermuara di sungai Kapuas. Kabupaten Kapuas Hulu memiliki luas wilayah seluas 29.842 km2 atau 20,33% dari luas Propinsi Kalimantan Barat (146.807 km2). Kecamatan  yang ada di kapuas hulu 23 kecamatan yaitu Silat Hilir, Silat Hulu, Bunut Hulu, Mentebah, Manday, Kalis, Putussibau, Kedamin, Embaloh Hilir, Bunut Hilir, Boyan Tanjung, Embau, Batu Datu, Hulu Gurung, Selimbau, Seberuang, Semitau, Suhaid, Empanang, Puring Kencana, Badau, Batang Lupar, dan Embaloh Hulu.
Suku Dayak di Kapuas Hulu terdiri dari 20 subsuku, yakni Dayak Suaid, Kantu, Seberuang, Kalis, Lau, Suru, Mentebah, Tamambalo, Ensilat, Mayan, Sekapat, Desa, Punan, Buket, Taman, Kayaan, Rembay, Sebaru, Iban, dan Oruung Da’an. Kecamatan Boyan Tanjung yang terdiri dari 18 desa yang sekarang ini dan mayoritas muslim adalah dahulunya merupakan tempat orang dayak atau subsuku dayak. Sebelum kedatangan suku melayu atau agama islam keadaan sosial masyakat dayak sangat hancur karena kondisi mereka yang gemar sekali bunuh membunuh sesamanya.
Pada masa lalu, sekitar tahun 1900-an suku Dayak Kantuk sering terjadi pertikaian dengan suku Dayak Iban. Tradisi kayau atau mengayau sering terjadi di antara kedua suku dayak ini. Kadaan inilah sebenarnaya menunjukan bahwa sesunguhnya dayak kantok kalah berperang melawan suku dayak iban sehinga mereka menetap dan tingal di hilir sungai boyan demi mencari aman dari ganguan pihak musuh. Suku dayak akantok menetap dihilir sungai boyan sebenarnaya tidak terlepas dari beberapa alasan pertama, mereka tidak mau suku mereka punah dan habis akibat ngayau tersebut, untuk menjaganya mereka mau tak mau harus menetap dihilir sungai boyan demi kelangsungan suku mereka.
Menjaga keturunan atau suku diri sediri merupakan hal yang selayaknya dilakukan apalagi kita tahu suku dayak sangat takut sekali jika sukunya itu punah. Mempertahankan suku salah satu juga faktor yang terjadi di dayak katok di kecamatan Boyan Tanjung demi menjaga kelestarian sukunya mereka memilih menetap di hilir sungai.
Ketika bangsa indonesia merdeka dan benar-benar terlepas dari penjajahan maka sitem mualai teratur salah satunya sistem hukum yang merata keseluruh bangsa indonesia, perlahan-perlahan masyakat dayak mulai meningalkan kebiasaan yang namanya ngayau, dan menjalankan kehidupan yang saling hormat-menghormati selayaknya yang tertera dalam undang-undang yang berlaku sebagai dasar dari sebuah bangsa. Belakunya hukum negara menjadikan dayak katok harus terus menetap di hilir sungai terus, karena merasa mau balas dendam dengan masyakat dayak iban takut hukuman yang negara, maka secara perlahan masyakat dayak kantok mau tak mau harus mendiami wilayah yang sekarang ini mereka huni. Karena untuk pindah lagi mereka tak sangup melihat bangunan rumah penduduknya sudah pada bagus dan kuat-kuat, karena peralatan rumah mereka dari kayu yang terbaik  ditambah lagi warganya sudah menyukai tempat yang mereka sekarang ini huni.
Adapun kedatangan mereka kehilir sungai adalah karena Ketika kalah perang ngayau dayak kantok mulai memikirkan tempat yang aman dimana mereka harus melindungi diri dari ganguan musuh salah satunya adalah menetap dihilir sungai. Adapun alasan mengapa mereka harus menetap di hilir sungai yaitu karena ketakutan mereka akan kepunahan suku mereka akibat perang ngayau melawan suku dayak iban.
Mengapa mereka memilih dihilir sungai karena mereka tahu suku dayak iban akan terus menelusuri sungai dan tak mungkin mereka bakalan berbalik kehilir sungai. Bagi masyarakat dayak iban apabila sungai yang telah dilalu mereka maka tempat itu telah mereka tahlukan.
Sedangkan kehidupan sekarang masyarakat dayak sudah mengituti pola kehidupan oarang melayu. Pada saat ini banyak dari masyarakat suku Dayak Kantuk tidak tinggal di Rumah Betang lagi, tetapi telah membangun rumah pemukiman seperti bentuk rumah suku Melayu, dalam bentuk rumah panggung biasa. Pada masa lalu sebelum orang Dayak Kantuk masih mengamalkan kepercayaan animisme yaitu percaya terhadap roh-roh dan kekuatan gaib pada benda-benda yang dianggap keramat. Mereka melaksanakan berbagai tradisi adat seperti Nyengkelan Tanah, Tolak Bala, Upacara Kematian dan Upacara Pengobatan. Saat ini suku Dayak Kantuk telah memeluk agama seperti kristen. sehingga beberapa tradisi animisme yang mereka anut pada masa lalu tidak lagi mereka jalankan. Beberapa jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Kantuk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu : berladang, menangkap ikan, berburu binatang liar di hutan, menoreh getah, dan bertambang emas.
Seperti yang terjelaskan dalam pembahasan diatas masyakat dayak dihilir sungai mereupakan masyarakat yang terkekang, dalam arti kata tidak bisa membalaskan dendam kepada dayak iban yang membantai habis mereka, akibat perubahan sistem hukum di indonesia kala saat itu bangsa indonesia mengatakan merdeka. Secara otomatis sistem hukum akan terbenah dan disama ratakan tidak membeda-bedakan suku, budaya, ras, agama, semua tetap dalam komando hukum pemerintah. Maka perlahan-lahan masyarakat dayak kantok mulai meredakan emosi dendam kepada masyakat dayak iban, dan mau tak mau dayak kantok harus terus menetap karena melihat pembangunan rumah mereka memang sudah bagus selayaknya rumah melayu yang ada disekitarnya. Bahkan masyarakat dayak kantok secara perlahan sudah menyukai tempat tingalnya dan sulit intuk meningalkannya lagi. Sehinga sampai sekarang dayak kantok menetap dan tingal dihilir sungai dan mereka merasa nyaman bersama berbaur dengan masyarakat melayu disekitarnya. Bila dibandingkan jika kehidupan dahulu mereka merasa resah dan was-was ketika masih bertetangga dengan masyarakat dayak iban saat itu.


B.     Saran
Demikianlah hasil paparan yang saya teliti tentang kondisi sosial masyarakat dayak kantok yang menetap dihilir sungai Boyan kecamatan Boyan Tanjung kabupaten Kapuas Hulu. Yang mana kondisi  ini sangat menarik perhatian sekali yang mana kita ketahui masyarakat dayak yang dominan sekali menetap dan tingal dihulu sungai namun kali ini sangat jauh berbeda dengan kondisi dayak kantok di Boyan Tanjung malah menetap dihilir sungai boyan. Tentu keadaan ini memiliki arti dan faktor tersediri bagi masyarakat dayak kantok.
Terimakasih atas perhatian pembaca yang mana telah membaca paparan penelitian saya yang mana disini saya sangat berharap sekali kepada pembaca mau memberi sanran dan keritik terhadap penelitian saya. Keritik dan saran sangat saya butuhkan supaya dapat mengurangi tigkat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam kata-kata.
Saya sangat menyadari sekali bahwa penulisan saya ini sangat jauh dari kata sempurna. Harapan saya dengan adanya keritik saran pembaca dapat membantu saya menemui tingkat atau jejang yang sempurna dalam penulisan yang benar. Saya sangat menjadari bawa penilayan yang anda berikan adalah salah satu teguran saya yang sekarang ini dalam tahap kesalahan. Penilaian bukan datang dari diri sendiri tapi melainkan datang dari orang lain.
Manusia yang baik bukankah akan lebih indah bila saling nasehat-menasehati satu sama lain. Apalagi kita sesama penerus bangsa akan lebih baik kita berpegangan tangan saling menuju kearah yang lebih abik dengan cara memberi motivasi satu sama lain dan juga saling memberi masukan yang lebih baik demi arah yang positf.
Demikan yang dapat saya samapai kan semoga ada manfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan. Amin yarobal alamin....


















DAFTAR PUSTAKA

Azmi, MM. (1977) studies in Hadith methodology and literature.
        Indianapolis, Indiana: Islamic Teaching Center
Internet
ü  http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak











No comments:

Post a Comment