BAB11
PEMBAHASAN
A. PGRS/PARAKU
Terbentuknya
Paraku-PGRS terkait dengan peristiwa konfrontasi antara Indonesia dengan
Malaysia dari tahun 1963 hingga 1966. Pemerintah Indonesia menolak pembentukan
Federasi Malaysia
yang didukung penuh oleh Inggris. Wilayah Kalimantan Utara yang juga merupakan
koloni Inggris, seperti halnya Semenanjung Malaya, dimasukkan ke dalam teritori
Federasi Malaysia oleh para penggagasnya tanpa terlebih dahulu meminta
persetujuan seluruh rakyat Kalimantan Utara. Penolakan penduduk, khususnya
warga Tionghoa, didasari oleh kecemasan akan adanya dominasi warga Melayu
Semenanjung Malaya terhadap rakyat Kalimantan Utara.
Kasus Paraku/PGRS didokumentasikan
sebagai salah satu pelanggaran HAM di Indonesia. Beberapa pihak menengarai
dalam peristiwa ini juga terjadi pembersihan etnis terhadap warga Tionghoa di
pedalaman Kalimantan. Dalam buku Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan
setidaknya ada 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi di Pontianak
dan 43.425 orang di antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak.
Kelompok sayap kiri
dan komunis
berkembang dengan pesat semenjak tahun 1950an di antara penduduk perkotaan
Sarawak dari suku Iban dan China. Mereka akhirnya menjadi inti
pasukan Paraku dalam rangka gerakan Ganyang Malaysia
(Dwikora) oleh presiden Indonesia saat itu, yaitu Soekarno.
Partai NKCP mempropagandakan penyatuan seluruh wilayah Kalimantan
yang berada di bawah kekuasaan Inggris
untuk membentuk negara merdeka Kalimantan
Utara. Ide tersebut awalnya diajukan oleh Azahari,
ketua Partai Rakyat Brunei, yang memiliki hubungan dengan gerakan
nasionalisme yang dicetuskan oleh Soekarno,
bersama dengan Ahmad Zaidi di Jawa pada tahun 1940an
Saat Soeharto
berada di tampuk kekuasaanya, PGRS/PARAKU yang sebelumnya adalah satu ujung
tombak dalam menginvasi Sabah dan Sarawak, akhirnya ditumpas secara militer
karena dari 937 personel terlatih, hanya 99 orang bersedia menyerahkan diri,
dan selebihnya melakukan perlawanan bersenjata.
Atas dasar itulah, aktivis
PGRS/PARAKU kemudian dikategorikan Presiden Soeharto sebagai PKI. Etnis China
mesti diusir dari pedalaman dan perbatasan karena dicap penyuplai logistik dan
mata-mata bagi aktivis PGRS/PARAKU
Aksi perlawanan PGRS/PARAKU
membuat nyali pemerintah dan TNI ciut. Pada 16 Juli 1967 malam, Pangkalan TNI
AU di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang, direbut satu kompi PGRS/PARAKU
dipimpin Sofjan, Wong Hon, dan The Wa Su.
Menurut Peter Dale Scoot, mantan
diplomat Amerika Serikat, ada tiga skenario CIA Amerika Serikat dalam
menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soekarno, sebagai musuh nomor satu AS di
dunia pada masa itu.
Pertama, mengondisikan G30S 1965
di Jakarta. Kedua, melakukan pembunuhan massal terhadap pihak yang dinilai
terlibat PKI. Ketiga, melakukan kriminalisasi politik terhadap para politikus
dan birokrat yang dinilai sebagai Soekarnois atau orang dekat Presiden
Soekarno.
Mengacu kepada analisis Peter
Dale Scoot, aksi pembantaian etnis China di pedalaman dan perbatasan Provinsi
Kalimantan Barat 1967, merupakan bagian kedua skenario CIA dalam menghancurkan
kekuatan komunis di Asia Tenggara.
Pada tanggal 8 Desember 1962,
bersama dengan berdirinya Negara Nasional Kalimantan Utara, Tentara Nasional
Kalimantan Utara dibentuk sebagai kekuatan pertahanan. Inggris mengerahkan
tentara untuk melawan NNKU sehingga membuat Azahari tidak mampu
mempertahankan pemerintahan pusat di Kalimantan Utara kemudian memindahkannya
ke Manila. Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia saat itu adalah memberikan asylum
politik kepada Perdana Menteri Azahari dan Panglima Abang Kifli di Jakarta.
Berdirinya Negara Kalimantan Utara
mengakibatkan Partai Komunis Sarawak mendapat tekanan dari penguasa. Sejalan
dengan kebijaksanaan politik Indonesia masa itu, pemimpin-pemimpin komunis dari
Sarawak berpindah ke Kalimantan Barat. Sedangkan
RRC (Republik Rakyat Cina), dalam rangka menyelamatkan Partai Komunis Sarawak,
mengirim Wen Min Tjuen dan Wong Kee Chok ke Kalimantan Barat pada
awal tahun 1963. Kedua pemimpin Partai Komunis Cina tersebut menemui Yap
Chung Ho, Wong Ho, Liem Yen Hwa, dan Yacob dari Sarawak
Advance Youth Association (SAYA) untuk membahas garis perjuangan dari
Partai Komunis Sarawak. Azahari dan Abang Kifli dengan Tentara Nasional
Kalimantan Utara (TNKU)-nya kemudian berhubungan dan bekerja sama dengan
mereka. Tanggal 2 Desember 1963, Soebandrio, Wakil
Menteri Pertama atau Menteri Luar Negeri Indonesia, dan atas nama KOPERDASAN
(Komando Pertahanan Daerah Perbatasan), datang ke Kalimantan Barat dalam rangka
kampanye konfrontasi anti Malaysia dan memperkenalkan Azahari kepada khalayak
ramai.
Azahari (Brunei), Kelompok Yap Chung
Ho (Sarawak), dan Soebandrio (Indonesia) mengadakan pertemuan di Sintang dan
muncul gagasan untuk membentuk suatu pasukan bersenjata. Pertemuan kedua di
Bogor dihadiri Soebandrio, Njoto, Soeroto, Perdana Menteri
NNKU Azahari, dan kelompok Yap Chung
Ho dari SUPP. Dalam pertemuan itu, diputuskan membentuk pasukan bersenjata yang
akan berkedudukan di perbatasan Kalimantan Barat (Asuangsang di sebelah Utara
Sambas). Soebandrio dengan BPI (Badan Pusat Intelijen) Indonesia membantu
melatih sepuluh orang anak buah Yap Chung Ho selama sebulan di Bogor, kemudian
dibawa ke Asuangsang untuk melatih 60 orang pasukan lagi. Dengan basis pasukan
ini, dibentuk Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat
Kalimantan Utara (PARAKU) sebagai bagian dari Tentara Nasional Kalimantan Utara
(TNKU).
Menurut Lie Sau Fat atau X.
F. Asali, budayawan Tionghoa Kalimantan Barat dan saksi sejarah, ketika
peristiwa Dwikora, banyak sukarelawan membantu perang dengan Malaysia. Mereka
terdiri dari para pelarian dari Sarawak, yang umumnya etnis Tionghoa dan
partisipan komunis, juga sukarelawan dari Singkawang, Bengkayang, dan berbagai
wilayah di Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis seperti Melayu, Dayak,
dan Tionghoa. Kodam Tanjungpura pada Mei dan Juni 1964 memberikan latihan
militer pada 28 orang sukarelawan dari SUPP (Sarawak United People Party)
yang lari ke Kalimantan Barat dan juga para sukarelawan yang dikirim dari
Jakarta. Latihan militer tersebut di lakukan di Dodiktif 18 – Tandjungpura,
Bengkayang. Letnan Kolonel Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII
Tanjungpura, mengungkapkan, “Saat itu, kita melatih PGRS/PARAKU untuk
dipergunakan membantu memerdekakan Malaysia. Mereka dilatih oleh RPKAD di
Bengkayang.”
Jumlah pasukan PGRS adalah sekitar
800 orang yang berbasis di Batu Hitam, Kalimantan Barat, bersama
dengan 120 pasukan dari Indonesia dan sedikit kader yang dilatih di China. Partai Komunis Indonesia (PKI) terbukti memiliki
keterlibatan dan dipimpin oleh Sofyan, seorang etnis Arab yang revolusioner.
PGRS beberapa kali melakukan perampokan di Serawak, tetapi lebih banyak lagi
berusaha meningkatkan pendukung mereka dari wilayah tersebut. Militer Indonesia
tidak menyukai kecondongan PGRS ke sayap kiri sehingga
secara umum menghindari mereka.
Paraku-PGRS bahu-membahu bersama TNI dan sukarelawan Indonesia
menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu balatentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang
masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan
Utara menjadi garis depan pertempuran. Seorang peneliti Tionghoa, Benny
Subianto, mengungkapkan kehebatan gerilyawan Paraku-PGRS ketika melawan pasukan
Gurkha Inggris.
Kedua pasukan itu hampir berhasil menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha
Rifles dalam sebuah serangan terhadap distrik Long Jawi pada tanggal 28
September 1963. Buku A Face Like A Chicken Backside-An Unconventional
Soldier in Malaya and Borneo 1948-1971 karya JP Cross mencatat kehebatan
serangan relawan Indonesia serta Paraku-PGRS yang menewaskan beberapa prajurit
Gurkha dan anggota Border Scout. Dari fakta-fakta sejarah tersebut, Paraku-PGRS
tampak menjadi pahlawan bagi Indonesia selama era konfrontasi.
Kebijakan Pemerintah Indonesia,
melalui BPI (Badan Pusat Intelijen), membuat “kisah” PGRS/PARAKU tidak menjadi
konsumsi publik pada tahun 1963-1965 (sebelu
30 S). Seperti yang diuraikan L.H. Kadir, saksi
sejarah, mantan Wakil Gubernur Kalbar 2003-2008, pada masa konfrontasi bekerja
sebagai pegawai negeri di Putusibau (1963-1965) dan Mahasiswa APDN (1965-1968):
“Sekitar
tahun 1963-1964 tidak ada pernyataan dukungan Indonesia terhadap PGRS/PARAKU.
Masyarakat hanya tahu bahwa ada pergolakan rakyat di perbatasan. Setahu saya
setelah peristiwa G 30 S baru ada di koran berita tentang PGRS/PARAKU. Sebelum
itu yang dikenal sukwan... Sewaktu masih di Putusibau, saya pernah mengantar
sukwan dari Putusibau untuk berlatih di perbatasan. Saya dengan speed ke Semitau diperintah Dandim Hartono supaya
mengantar. Orang-orang yang saya antar Cina semua waktu itu. Mereka bawa
senjata, ada pula amoi-amoi, banyak perempuan. Ada juga dokter dua orang,
mereka latihan di Badau.
Reaksi Indonesia menentang
pembentukan Malaysia mendapat dukungan besar dari rakyat Indonesia. PKI
mengecam rencana “Malaysia” sebagai ”usaha neo-kolonialis untuk mencegah
masyarakat dari koloni-koloni Inggris untuk memperoleh kemerdekaan nasional
yang sebenarnya dan kebebasan dari imperialisme”. Angkatan Darat mendukung sikap Presiden Soekarno, tapi dalam
kasus akan munculnya bahaya komunisme yang lebih kuat. ”Pasukan khawatir
berdasarkan populasi China pada federasi tersebut, Malaysia akan menjadi batu
loncatan bagi Komunis China untuk masuk ke Indonesia melalui perbatasan
Indonesia-Malaysia”.
Indonesia juga mendapat dukungan dari Filipina.
Presiden Filipina, Diosdado Macapagal mengklaim Sabah sebagai bagian dari wilayah
negaranya atas dasar hubungan antara Filipina dan Sultan Sabah pada masa
pra-kolonial. Filipina juga takut bahwa federasi baru itu akan menjadi basis
bagi tekanan komunis dari populasi Cina-Malaysia dan elemen komunis Indonesia.
Pasca G 30 S, situasi
belum mempengaruhi PGRS/PARAKU karena pemerintah belum membubarkan PKI. Situasi komando di Kalimantan
Barat masih belum jelas. Satu-satunya komando yang diberikan oleh Pangdam
XII/Tanjungpura adalah tetap di pos masing-masing dan mempertinggi kewaspadaan.
Situasi itu dimanfaatkan PGRS/PARAKU untuk mengonsolidasi kekuatan; banyak simpatisan
PKI yang
bergabung karena situasi politik yang semakin menekan PKI. Mereka sama-sama
memperoleh pelatihan militer dari Tentara RI dan sama-sama diterjunkan di
perbatasan. PKI memanfaatkan pengerahan sukarelawan untuk melatih para
kadernya, yang kebanyakan dari etnis Tionghoa, sehingga akan sulit dibedakan
yang mana PGRS/PARAKU, kader PKI, dan kelompok yang tidak mengetahui tentang
semua itu.
Pemerintah Orde Baru dibawah
pimpinan Presiden Soeharto tidak
berniat untuk melanjutkan konfrontasi terhadap Malaysia dan Inggris.[1] Pada 29 Mei
– 1 Juni 1966, diadakan perundingan antara Menteri Luar Negeri RI Adam Malik dan Menteri
Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok atas
bantuan Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman. Puncak dari semua
perundingan adalah ditandatanganinya persetujuan Indonesia dan Malaysia untuk
normalisasi hubungan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan itu
dikenal dengan Jakarta Accord yang mengakui kedaulatan Malaysia. KOLAGA
(Komando Mandala Siaga) mengeluarkan instruksi dengan radiogram tanggal 10
Agustus 1966 No. TSR-26/1966 kepada semua Komando Bawahan untuk menghentikan
kegiatan-kegiatan operasi. Langkah selanjutnya yang diambil oleh Komando Tempur
(Kopur) IV/Mandau adalah menyerukan agar PGRS/PARAKU mengadakan konsolidasi di
tempat-tempat yang sudah ditentukan. Ternyata yang mengikuti seruan tersebut
hanya 99 orang, sedangkan sejumlah 739 orang membangkang.[2] AM
Hendropriyono, prajurit Para Komando dengan kemampuan di bidang Sandi Yudha
pada 1969-1972 di belantara Kalimantan Barat-Sarawak, mengungkapkan:
"Ini
kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di Surabaya,
Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto
memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan
senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus
menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan.
Tendensi politik anti-komunis serta keinginan untuk
berdamai dengan Malaysia-Inggris menempatkan Paraku-PGRS sebagai musuh
pemerintah Indonesia dan TNI. Gerakan PGRS / PARAKU yang memiliki dasar
ideologi komunis merupakan sumber potensial terhadap munculnya kerawanan sosial
politik yang mengancam terhadap eksistensi suatu negara. TNI bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris dalam
menumpas Paraku-PGRS, dan memberikan julukan baru bagi Paraku-PGRS, yaitu Gerombolan
Tjina Komunis (GTK), sementara pihak Malaysia yang sudah berdamai dengan
Indonesia memberi cap ”CT” (Communist Terrorist). Perang antara
TNI dengan gerilyawan Paraku-PGRS meletus, salah satunya yang terjadi di
Pangkalan Udara Sanggau Ledo, Bengkayang, Kalimantan Barat. Memasuki
tahun 1967, operasi penumpasan diintensifkan oleh pemerintah Orde Baru melalui Operasi
Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III yang digelar sejak April 1967 hingga
Desember 1969 dibawah komando Brigadir Jenderal AJ Witono.
Pelaksanaan Operasi Saber I tidak
memuaskan. Faktor-faktor kegagalan disebabkan kurangnya tenaga tempur, dan pihak
PGRS/PARAKU lebih mengenal keadaan medan dan dapat menarik simpati kaum pribumi
yaitu suku Dayak setempat.
PGRS/PARAKU juga mudah memencar dan menyusup ke dalam masyarakat untuk
menghilangkan diri dari pengejaran. Hal itu disebabkan masyarakat dan
kampung-kampung Tionghoa tersebar luas sampai daerah pedalaman seluruh
Kalimantan Barat. Dalam Operasi Saber, terjadi peristiwa Mangkok Merah pada bulan
Oktober-November 1967. Peristiwa Mangkok Merah dipicu oleh
terjadinya penculikan dan kekerasan yang dialami Temenggung Dayak di Sanggau
Ledo.
Bulan Maret 1967, seorang guru orang
Dayak ditemukan dibunuh di Sungkung, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang.
Tanggal 3 September 1967 ada sembilan orang Dayak diculik di Kampung Taum dan
baru ditemukan tidak bernyawa oleh masyarakat dan TNI pada tanggal 5 September
1967. TNI
mempropagandakan kekerasan itu dilakukan oleh GTK alias Paraku-PGRS. Propaganda
diperkuat penemuan sembilan mayat oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang diklaim sebagai mayat
tokoh-tokoh Dayak.
Gerakan pembasmian PGRS/PARAKU pada
tanggal 14 Oktober 1967 dikenal dengan sebutan “Demonstrasi Suku Dayak”.
Gerakan ini kemudian menyebar luas menjadi luapan emosi etnis Dayak, hingga
upacara mangkok merah diadakan. Gerakan ini menjadi sentimen rasial dengan
mengidentikkan etnis Tionghoa sebagai anggota PGRS/PARAKU dan menjadi korban
gerakan demonstrasi. Gerakan ini mengakibatkan pengungsian besar-besaran etnis
Tionghoa menuju ke Kota Pontianak, menimbulkan masalah beban pengungsi di kota-kota
penampungan, derita psikis yang dialami keluarga korban pembantaian, dan
lumpuhnya sirkulasi perdagangan di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Setelah
gerakan Suku Dayak, kegiatan-kegiatan PGRS/PARAKU mulai menurun.
Tekanan-tekanan Pasukan Indonesia menyebabkan PGRS/PARAKU semakin terjepit.
Putusnya jalur logistik dengan mengungsinya ribuan orang Tionghoa menyebabkan
banyak anggota PGRS/PARAKU yang menyerahkan diri. Presiden Soeharto, dalam
pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1968 malam, secara khusus mengucapkan
terima kasih kepada Suku Dayak di Kalbar yang telah membantu pemerintah
menumpas tuntas sisa-sisa gerombolan PGRS/PARAKU di Kalbar.
No comments:
Post a Comment