BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Menurut
Widjaja (1985:154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang
perbuatan dan kelakuan (akhlak). Sementara itu Wila Huky, sebagaimana yang
dikutip oleh Bambang Daroesono (1986:22) merumuskan pengertian moral secara
kompeherensip sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan
warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan
tertentu, ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan
hidup atau agama tertentu, sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan
pada kesadaran bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
a. Seruan untuk
berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara
kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
b. Larangan mencuri,
berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Menurut
Soejono Soekanto norma-norma yang ada dalam masyarakat mempunyai kekuatan
mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang
terkuat ikatannya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat pada
tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma
tersebut, secara sosiologis mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis
dikenal adanya empat pengetian, yaitu : cara (usage), kebiasaan (folkways),
tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom).
Moral
berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan
yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah
laku. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga
tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan
oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan
harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman
seperti yang dialami waktu anak-anak.
Perkembangan
moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan
nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya
dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral).
Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu,
melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara
dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang
boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Namun,
moral remaja pada era globalisasi ini telah menyimpang dari ajaran tentang
tingkah laku hidup atau ajaran agama tertentu yang berlaku di dalam lingkungan
masyarakat. Mereka cenderung mengagung-agungkan budaya Barat dibandingkan
budaya asli Indonesia yang sebenarnya sangat unik dan beragam. Bukan hanya
mengagung-agungkan budaya Barat saja tapi teknologi global pun juga ikut
mempengaruhi krisis moral pada remaja. Kebudayaan sama halnya dengan
spesies-spesies, mengalami seleksi berdasarkan adaptasinya terhadap lingkungan,
yakni : sejauh mana kebudayaan itu membantu anggota-anggotanya untuk survive
dan memelihara kebudayaan itu sendiri.
Nilai
merupakan sesuatu yang baik, diinginkan atau dicita-citakan dan dianggap
penting oleh warga masyarakat, misalnya kebiasaan dan sopan santun. Menurut
Green, sikap merupakan kesediaan bereaksi individu terhadap suatu hal, sikap
berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang. Tingkah laku
adalah implementasi dari sikap yang diwujudkan dalam perbuatan.
Dalam
kaitan dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam
bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud.
Dalam hal ini aliran Psikonalisis tidak membeda-bedakan antara moral, norma dan
nilai. Semua konsep itu menurut Freud menyatu dalam konsepnya super ego. Super
ego sendiri dalam teori Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk
mengendalikan tingkah laku ego, sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
Dari hasil penyelidikan kohlberg mengemukakan 6 tahap (stadium) perkembangan
moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada 3 tingkat
perkembangan moral menurut kohlberg, yaitu tingkat :
I
Prakonvensional
II
Konvensional
III
Pasca-konvensional
Masing-masing
tingkat terdiri dari 2 tahap, sehingga keseluruhan ada 6 tahapan yang
berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang dapat
mencapai tahap terakhir perkembangan moral. Dalam stadium nol, anak menganggap
baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Hingga sesudah stadium
ini datanglah:
Tingkat I; prakonvensional, yang
terdiri dari stadiun 1 dan 2.Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan
dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang
ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh
adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau
tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip
Relaivistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak
tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang
lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai berbagai segi. Jadi,
ada Relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan
kesanggupan sesorang. Misalnya mencuri kambing karena kelaparan. Karena
perbuatan “mencuri” untuk memenuhi kebutuhanya, maka mencuri dianggap sebagai
perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu diketahui sebagai
perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II : konvensional.
Stadium
3, menyngkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai
memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi
perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orag lain, masyarakat adalah
sumber yang menentukan, apakah perbuatan sesorang baik atau tidak. Menjadi
“anak yang manis” masih sangat penting daam stadium ini.
Stadium
4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dari otoritas. Pada stdium ini
perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima
oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut
mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma soisal. Jadi perbuatan baik
merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak
timbul kekacauan.
Tingkat III: Pasca-Konvensional.
Stadium
5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan
lingkungan sosial, pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya
dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan
kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial kerena sebaiknya,
lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
Stadium 6, tahap ini disebut
prinsisp universal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan
subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang ada unsur subjektif
ynag menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, unsur
etika akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya.
Menurut Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nila-nilai. Mengerti
nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga
dapat menjelaskanya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja
sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikanya
sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai
ini akan tercemin dalam sikap dan tingkah lakunya.
Sama
halnya dengan sifat-sifat spesies dalam teori Darwin praktek-praktek budaya
bisa berubah atau bermutasi, tetapi praktek-praktek budaya tersebut tetap
berlaku karena kebudayaan memiliki nilai adaptasi. Kelangsungan budaya sama
halnya dengan kelangsungan spesies-spesies, ditentukan oleh atau tergantung
kepada kelangsungan an perkembangan praktek-praktek yang memungkinkan
kebudayaan itu bisa digunakan untuk menangani lingkunagn fisik, juga tergabtung
kepada kemampuannya untuk bersaing dengan kebudayaan-kebudayaan lain.
Globalisasi
sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia terlebih lagi
remaja. Sebab remaja merupakan masa pertumbuhan menuju dewasa yang umumnya
mereka masih bersifat labil. Itu mereka lakukan agar tidak dianggap ketinggalan
jaman atau di ejek “kalau nggak gini iya nggak gaul!”. Hal itu semakin
memperparah krisis moral di kalangan remaja.
Sebagai
generasi muda seharusnya kita dapat lebih menghargai budaya kita sendiri dan
menjadi remaja yang bermoral yang mampu melawan dampak negatif dari globalisasi
dan menganbil dampak positifnya. Tentunya denganmengkatkan keimanan dan ketekwaan
kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jadi, kelompok kami mengadakan
penelitian ini untuk mengidentifikasi moral remaja pada era globalisasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah moral itu?
2. Apakah dampak globalisasi
terhadap moral?
3. Bagaimana penerapan moral
pada kehidupan remaja?
4. Perlukah moral diterapkan
sejak dini?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arti Definisi
Arti
definisi menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah kata, frasa, atau kalimat
yang mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri utama dari orang, benda, proses
atau aktivitas. Dengan demikian definisi bisa berupa gambaran singkat mengenai
suatu hal yang membedakannya dengan benda lain. Arti definisi juga bisa berupa
rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok
pembicaraan atau study.
Kata
“remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau
to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan
definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan
remaja sebagai periode. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian
remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui
pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut
Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13
tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut
Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11
hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa
remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17
tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock
karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan
yang lebih mendekati masa dewasa.
Papalia
& Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara
kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat
bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan
yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan
dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan
cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Transisi
perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak
masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock,
1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis
misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa
antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan
kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak
(Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Dikatakan
juga bahwa masa remaja disebut sturm und drang. Artinya suatu masa dimana
terdapat ketegangan emosi yang dipertinggi yang disebabkan oleh
perubahan-perubahan dalam keadaan fisik dan bekerjanya kelenjar-kelenjar yang terjadi
pada waktu remaja. Sebenarnya hal-hal tersebut hanya merupakan sebagian dari
sebab-sebab yang menimbulkan ketegangan pada waktu remaja.
Sebab
yang utama adalah keadaan sosial. Artimya hubungan remaja dengan orang lain
atau masyarakat yang sekarang tentunya mengharapkan reaksi yang lain dari anak
remaja dari pada di waktu dia masih kanak-kanak. Bertambahnya
ketegangan-ketegangan emosional itu disebabkan karena anak-anak remaja harus
membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap harapan-harapan masyarakat yang baru
dan berlainan dari dirinya.
Ada
banyak bentuk-bentuk emosi yang nampak pada remaja, diantaranya adalah marah,
takut, malu, iri hati, kasih saying, kegembiraan, kesedihan, dan rasa ingin
tahu. Rasa ingin tahu inilah yang menyebabkan remaja menyelidiki hal-hal yang
ingin diketahuinya, termasuk menyelidiki hal-hal yang negatif.
Adapun
karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai
dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir
operasional formal, yakni:
a. mulai mampu berfikir abstrak.
b. mulai mampu memecahkan
masalah-masalah yang bersifat hipotetis, maka pemikiran remaja terhadap suatu
permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi
juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
c. Perkembangan pemikiran moral
remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan
kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai
walau belum mampu mempertanggungjawabkannya secara pribadi.
d. Keyakinan moral lebih
berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
e. Keadilan muncul sebagai
kekuatan moral yang dominan.
f. Penilaian moral menjadi
kurang egosentris.
g. Penilaian secara psikologis
menjadi lebih mahal.
Dalam
makalah ini arti definisi dari “Krisis Moral Remaja pada Era Globalisasi”
adalah semakin menurunnya perilaku masyarakat yang semakin menyimpang dan
remaja tidak henti-hentinya menjadi target utama yang perlu dibenahi. Ini
sangat memalukan bagi masyarakat Indonesia yang kental dengan adat
ketimurannya. Sangat ironis memang, karena ini semua menimpa generasi penerus
yang seharusnya mengharumkan nama bangsa dimata dunia.
Penyebab terjadinya krisis moral
yang menimpa remaja diantaranya adalah kurangnya perhatian dari keluarga,
pergaulan yang tidak baik, dan lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.
Semua ini tidak terlepas dari peran orang tua yang seharusnya dapat mengontrol
tingkah perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari dalam melakukan kegiatan
sehari-hari.
2.2 Fungsi Moral
Salah
satu tugas perkembangan yang penting dalam masa remaja adalah untuk mengerti
apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan untuk mau mengubah
sikap-sikapnya sesuai dengan harapan-harapan ini tanpa selalu dibimbing,
diawasi, dan diancam oleh orang-orang dewasa, seperti pada masa kanak-kanak.
Jadi sekarang padanya harus ada pengawasan dari dalam atau internal control.
Bilamana
dalam masa kanak-kanak telah tertanam konsep-konsep kesusilaan, maka
konsep-konsep yang telah meresap dalam diri anak inilah yang kini menjadi
pengawasan dari tingkah laku anak remaja. Bilaman konsep-konsep ini tidak ada
dalam diri anak, maka dia tidak akan dapat memenuhi apa yang dihapakan oleh
masyarakatdarinya dalam hal kesusilaan.
Pada
remaja terjadi perubahan dalam konsep-konsep moral. Kini anak remaja tidak mau
lagi menerima konsep-konsep dari hal-hal yang mana yang benar dan yang tidak
benar, yang telah ditetapkan oleh orang tuanya atau teman-teman sebayanya
dengan begitu saja seperti masa kanak-kanak. Dia sekarang menentukan sendiri,
berdasarkan atas konsep-konsep moral yang dikembangkan dalam masa kanak-kanak.
Akan tetapi telah dirubah sesuai dengan tingkat perkembangannya yang telah
lebih tinggi atau dengan perkataan lain sesuai dengan perkembangan yang telah
matang.
Pada
umumnya anak remaja patuh terhadap pendiriannya sendiri mengenai apakah sesuatu
tindakan itu benar atau salah. Dia benar-benar tidak akan menindakkan apa yang
menurut pendapatnya salah dan benar-benar akan menindakkan apa yang dianggapnya
benar. Tapi terkadang ada anak remaja yang menindakkan tindakan-tindakan yang
tidak dapat diterimanya dalam masyarakat yang sangat serius. Para ahli yang
telah mengadakan penyelidikan megenai kenakalan remaja menarik kesimpulan,
bahwa hal ini tidak disebabkan oleh karena salah satu sebab saja, akan tetapi
oleh beberapa sebab.
Setiap
individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral, dan sikap,
tergantung dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan
bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang
dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg,1963). Sedangkan pada
anak-anak yang berusia lebih tua, mereka bisa menawar aturan-aturan tersebut
kalau disetujui oleh semua orang.
Pada
sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya terhambat, pedoman mereka
hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat kedua sudah ada
pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus
memikirkan kepentingan orang lain. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat
pada latar belakang kebudayaannya. Jadi, ada kemungkinan terdapat individu atau
remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral dan sikap serta tingkah
laku yang diharapkan padanya.
Adapun Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan moral:
a. Hubungan harmonis dalam
keluarga, yang merupakan tempat penerapan pertama sebagai individu.
Begitupula dengan pendidikan agama yang diajarkan di lingkungan keluarga sangat
berperan dalam perkembangan moral remaja.
b. Masyarakat, tingkah laku
manusia bisa terkendali oleh kontrol dari yang mempunyai
sanksi-sanksi buat pelanggarnya.
c. Lingkungan sosial, lingkungan
sosial terutama lingkungan sosial terdekat yang bisa sebagai pendidik dan
pembina untuk memberi pengaruh dan membentuk tingkah laku yang sesuai.
d. Perkembangan nalar, makin
tinggi penalaran seseorang , maka makin tinggi pula moral seseorang.
e. peranan media massa dan
perkembangan teknologi modern. Hal ini berpengaruh pada moral remaja.
Karena seorang remaja sangat cepat untuk terpengaruh terhadap hal-hal yang baru
yang belum diketahuinya.
Fasilitas
teknologi, informasi dan komunikasi merupakan salah satu faktor yang merubah
kemuliaan perilaku generasi muda dewasa ini. Jaringan internet misalnya,
merupakan sebuah terobosan baru yang bisa menghubungkan antara mereka yang di
timur dengan mereka yang ada di barat atau di selatan. Sehingga penyebaran
informasi merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri sehingga seluruh informasi
baik membangun maupun yang merubuhkan akhlak akan berkontaminasi dengan
kepribadian kita sebagai orang timur ditambah dengan kurangnya nilai iman untuk
menyaring arus perjalanan informasi tersebut.
Sudah
banyak sekali kasus yang bisa kita saksikan melalui media massa bahwa
generasi muda sebagai motor dan tulang punggung negara ini sudah rusak moral
(akhlak) dan perilakunya. Budaya Islam sebagai budaya yang seharus dikembangkan
dan dijadikan sebagai ukuran atau filter penyaring dilupakan bahkan dilecehkan.
Generasi muda sudah kehilangan takaran iman yang bisa menepis pengaruh budaya
luar yang merusak kepribadian kita sebagai bangsa. Generasi muda kita banyak
kehilangan arah dan tersesat dalam area yang sangat berbahaya dan cenderung
hanya menggunakan nafsu sebagai takarannya.
Dengan
rusaknya moral dan akhlak generasi muda, maka secara perlahan akan merusak
tatanan suatu bangsa dan tinggal menunggu kehancurannya. Allah jelas telah
mengingatkan kita bahwa hancurnya bangsa diakibatkan rusaknya moral dan akhlak
pemudanya dan Qur’an dan Hadits yang diabaikan akan memberikan dampak
ketersesatan dan kehancuran manusia yang ada dalam negara tersebut.
Fungsi
dan peranan moral dalam pembelajaran menjadi sangat penting untuk diketahui.
Sebagaimana kita diketahui pendidikan lebih dari sekedar pengajaran, proses
pendidikan atau pembelajaran dijalankan oleh dua unsur penting yaitu pembelajar
dan pengajar yang akan membawa pendidikan kearah positif sebagaimana yang
diharapkan.
Pendidikan
merupakan tempat latihan sebenarnya bagi fisik, mental, dan spiritual peserta
didik agar menjadi manusia yang berbudaya sesuai dengan yang diamanatkan kepada
pemerintah dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3 untuk mrngusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dari
penjabaran diatas terlihat jelas moral memiliki posisi yang sangat penting
dalam pembelajaran ataupun dalam pendidikan nasional khususnya di Indonesia.
Moral memilik peranan sebagai pembentuk pribadi manusia yang berakhlak mulia
seutuhnya dalam menghadapi dimensi kehidupan.
Globalisasi
yang melanda negeri menimbulkan banyak tuntutan peningkatan pendidikan moral
pada lembaga pendidikan, ini didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang.
Kenakalan remaja dalam masyarakat dan berbagai unsur dekagensi moral lainnya,
terutamadi kota-kota besaryang sudah sampai pada tahap yang sangat meresahkan.
Oleh karena itu pendidikan moral di sekolah dianggap sebagai wadah formal yang
diyakini mampu berperan aktif dalam membentuk pribadi generasi muda melalui
intensitas pendidikan moral.
2.3 Perlunya Pendidikan Moral di Era
Globalisasi
Adanya
gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip
demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan merupakan
usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajarandan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Pada
sisi lain disebutkan peranan pendidikan atau edukasi dalam mengadakan perubahan
atau transformasi di masyarakat ada tiga macam yaitu, menjaga generasi sejak
masa kecil dari berbagai tindak penyelewengan. Mengembangkan pola hidup,
perasaan, dan memikiran mereka yang sesuai dengan fitrah, agar mereka menjadi
fondasi yang kokoh dan sempurna di masyarakat.
Karena
pendidikan berjalan seiring dengan perkembangan anak-anak, maka pendidikan akan
sangat mempengaruhi jiwa dan perkembangan anak serta akan menjadi bagian dari
keprbadiannya untuk kehidupannya kelak, kemudian hari. Pendidikan sebagai alat
terpenting untuk menjaga diri dan memelihara nilai-nilai yang positif.
Perlu
kita ketahui bersama bahwa pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji
kembali perlunya pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan
karakter dibangkitkan kembali. Melalui pendidikan orang mampu menguasai
teknologi, yang kemudian dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya sesuai dengan kebutuhan
manusia, namun sebaliknya dengan pendidikan pula terkadang manusia menjadi
takabur atau sombong.
Terjadinya
krisis moral tersebut ternyata tidak hanya di Negara kita, namun di
Negara-negara yang telah maju pun seperti Amerika Serikat terjangkit virus
moral atau demonstrasi. Bagaimanapun pendidikan memegang peranan penting dalam
segala aspek kehidupan manusia. Bila di setiap sekolah selalu diajarkan
pendidikan moral siswa siswinya InsyaAllh Indonesia di masa depan akan lebih
sukses dan bertambah maju.
Pendidikan
moral di era globalisasi disebabkan masa sekarang banyak sekali krisis moral
sehingga kita harus memupuknya.Karena sudah banyak sekali terjadi pelanggaran
yang telah dilakukan terutama di kalangan remaja.apalagi banyaknya budaya asing
yang masuk mengakibatkan terlahirnya budaya baru yang tidak sesuai dengan
budaya asli Indonesia.
Pengaruh
pendidikan moral ini dapat diperoleh dari lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat maupun lingkungan keluarga. Di lingkungan sekolah merupakan
kewajiban guru untuk memberikan pendidikan moral pada siswanya. Begitu pila
sebaliknya, lingkungan keluarga merupakan tugas orag tua, dan lingkungan
masyarakat tugas dari diri sendiri untuk membedakan antara yang baik dan yang
buruk.
Di
era globalisasi ini, yang paling banyak terjadi krisis moral, sebagai contohnya
adalah pergaulan antara anak laki-laki dan anak perempuan sudah terlewat bebas,
sudah jad dari kata normal. Itu disebabkan dari kurangnya pendidikan moral yang
Ia dapat dan kurangnya keimanan mereka. Sekarang kita harus menyadari bahwa
pendidikan moral sangatlah penting. Tidak hanya untuk anak remaja saja, tetapi
namun juga berlaku untuk semua usia. Pendidikan moral harus diajarkan sejak
dini sehingga nantinya akan terbiasa untuk melakukannya, hal ini juga untuk
membentuk kepribadian seseorang.
Bersosialisasi
dengan lingkungan bahkan warga asing pun menjadi lebih mudah bila kita memiliki
moral yang baik. Selain itu, dengan moral yang baik orang yang berinteraksi
dengan kita menjadi senang dan dengan sendirinya menghormati kita, pandangan
orang lain atau negara lain akan berubah apabila kita sebagai warga Indonesia
atau remaja Indonesia memiliki moral yang baik. Apalagi bila dapat menjadi
panutan bagi Negara lain merupakan hal yang membanggakan bagi semua warga
Indonesia.
2.4 Dampak Krisis Moral Remaja
Diketahui
dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan
adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Sedangkan di
sisi lain media merasa kaum remajalah yang tepat menjadi konsumen dari berbagai
produk yang ditawarkan. Seperti diketahui bersama bahwa media berperan besar
dalam pembentukan budaya masyarakat dan proses peniruan gaya hidup, tidak
megherankan pada masa sekarang adanya perubahan cepat dalam teknologi informasi
menimbulkan pengaruh negatif meskipun pengaruh positifnya masih terasa.
Hal
ini terlihat jika dapat diumpamakan remaja perkotaan sudah tertular dengan gaya
hidup barat. Terlihat pada sikap remaja yang mengikuti perkembangan mode dunia,
mulai dari fashion, gaya rambut, casing hand phone, pakaian, cara makan, cara
bertutur kata yang lebih sering menggunakan “ loe gue” dari pada “aku atau
saya, kamu”. Bahkan itu pun mereka ucapkan pada saat berbicara kepada orang
yang lebih tua. Padahal menurut budaya timur, harusnya kita harus sopan jika berbicara
dengan orang yang lebih tua. Lebih jauh lagi, dampak bagi remaja dapat dilihat
khususnya perempuan cenderung tertanam dalam pandangan mereka. Jika perempuan
menarik adalah perempuan yang agresif dan seksi.
Selain
itu, dengan semakin mudahnya remaja mendapatkan VCD porno dan internet yang
menampilkan gambar-gambar porno membuat para remaj penasaran untuk mencobanya
melalui kehidupan seks bebas atau bahkan jika hasrat seksualnya tinggi bisa
nekat melakukan pemerkosaan. Disamping itu, terdapat pula banyak pemilik warung
kecil yang dengan bebas menjual kondom bahkan obat perangsang berupa permen
karet yang berdampak meningkatkan libido pada wanita. Ini sangat memprihatinkan
jika dilihat dari latar belakang Negara kita yang merupakan Negara Timur bukanlah
Negara barat.
Selain
itu, terdapat fenomena kehidupan remaja di perkotaan sering terlihat terdapat
pasangan muda mudi yang belum resmi, melakukan sikap yang menyimpang dari moral
dan norma, ironisnya lagi terkadang terjadi penggeledahan di hotel-hotel maupun
tempat-tempat hiburan malam yang dilakukan oleh pihak yang berwenang karena
terdapat praktek mesum dan banyak diantara mereka adalah remaja usia sekolah
yang melakukan praktik mesum. Selain itu juga remaja putri yang berjilbab pun
patut dipertanyakan meskipun tidak semuanya. Sungguh pemandangan yang kiranya
menandakan bahwa moral remaja bangsa ini sudah benar-benar merosot.
Faktor
keimanan dan niat untuk benr-benar menjauhi dikap buruk , peran keluarga dan
media masa sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral remaja. media masa
harus benar-benar memberikan informasi untuk meningkatkan rasa percaya diri,
bebas dari diskriminasi, terlindung dari pelecahan, kekerasan, dan eksploitasi
seks.
Dengan
demikian bila melihat persoalan tersebut sudah saatnya kita bersama harus
membentengi diri dengan keimanan dan harus selektif dalam bentuk apapun agar
agar tidak tertindas dari perkembangan kemajuan yang berpengaruh pada rusaknya
moral bangsa ini. Marilah kita ambil nilai-nilai positif dari perkembangan zaman
dan tetap selektif terhadap dampak-dampak negatif dari kemajuan zaman. .
Sifat Moral : Perspektif
Objektivistik vs Relativistik
Dalam kajian tentang moral
terdapat perbedaan pandangan yang menyangkut
pertanyaan, apakah moral itu
sifatnya objektivistik atau relativistik ? Pertanyaan yang
hampir sama, apakah moral itu
bersifat absolut atau relatif, universal atau
kontekstual, kultural,
situasional, dan bahkan individual ?
Menurut
perspektif Objektivistik, baik dan buruk itu bersifat pasti atau tidak
berubah. Suatu perilaku yang dianggap baik akan tetap baik, bukan kadang baik
dan kadang tidak baik.
Senada
dengan pandangan Objektivistik adalah pandangan absolut yang menganggap
bahwa baik dan buruk itu
bersifat mutlak, sepenuhnya, dan tanpa syarat. Menurut
pandangan ini perbuatan mencuri
itu sepenuhnya tidak baik, sehingga orang tidak
boleh mengatakan bahwa dalam
keadaan terpaksa, mencuri itu bukan perbuatan yang jelek.
Demikian
pula halnya dengan pandangan yang universal, prinsip-prinsip moral itu berlaku
di mana saja dan kapan saja. Prinsip-prinsip moral itu bebas dari batasan ruang
dan waktu. Sebaliknya pandangan yang menyatakan bahwa
persoalanmoralitas itu sifatnya relatif, baik dan buruknya suatu
perilaku itu sifatnya“tergantung”, dalam arti konteksnya, kulturalnya,
situasinya, atau bahkan tergantung pada masing-masing individu.
Dari
dimensi ruang, apa yang dianggap baik bagi lingkungan masyarakat
tertentu, belum tentu dianggap baik oleh masyarakat yang lain. Dari dimensi waktu,
apa yang dianggap baik pada masa sekarang, belum tentu dianggap baik pada
masa-masa yang lalu.
Salah satu kelemahan literatur
tentang moral atau etika, terutama yang bersumber dari literatur Barat, adalah
kurang adanya klasifikasi moral, etika pada umumnya tidak membedakan secara
jelas antara kesusilaan dan kesopanan. Dua pandangan yang saling
dipertentangkan itu sesungguhnya dapat diterima semua, dalam arti ada
prinsip-prinsip etik atau moral yang bersifat Objektivistik-universal dan ada
pula prinsip-prinsip etik atau moral yang bersifat relativistik-kontekstual.
Prinsip-prinsip
moral yang bersifat Objektivistik-universal yang dimaksudkan adalah prinsip-prinsip
moral secara obyektif dapat diterima oleh siapapun, di manapun, dan kapanpun
juga. Sebagai contoh adalah sifat atau sikap kejujuran, kemanusiaan,
kemerdekaan, tanggung jawab, keihlasan, ketulusan, persaudaraan, keadilan dan
lainlain.
Sedangkan prinsip-prinsip moral
yang bersifat relativistik-kontekstual sifatnya “tergantung”, “sesuai dengan
konteks”, misalnya tergantung pada konteks kebudayaan atau kultur, sehingga
bersifat kultural. Demikian seterusnya, sifat relativistik-kontekstual itu
pengertiannya bisa berarti nasional, komunal, tradisional, situasional,
kondisional, atau bahkan individual. Sebagai contoh adalah sikap kebangsaan,
adab “ketimuran”, etika atau sopan santun orang Jawa atau Minangkabau, serta
berbagai etika terapan. Sebagaimana dikenal dalam kajian tentang macam-macam
norma, dikenal adanya empat macam norma, yaitu norma keagamaan, norma
kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum. Norma kesusilaan itu lebih
bersumber pada prinsip-prinsip etis dan moral yang bersifat
Objektivistik-universal. Sedangkan norma kesopanan itu bersumber pada
prinsip-prinsip etis dan moral yang bersifat relativistik-kontekstual.
Sejalan
dengan hal ini, Widjaja (1985: 154) mengemukakan bahwa persoalan moral
dihubungkan dengan etik membicarakan tentang tata susila dan tata sopan santun.
Tata susila mendorong untuk berbuat baik, karena hati kecilnya mengatakan baik,
yang dalam hal ini bersumber dari hati nuraninya, lepas dari hubungan dan
pengaruh orang lain. Tata sopan santun mendorong untuk berbuat baik, terutama
bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani, untuk sekedar menghargai
orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian tata sopan santun lebih terkait
dengan konteks lingkungan sosial, budaya, adat istiadat dan sebagainya
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masa
remaja adalah masa yang sangat rawan dimana mereka belajar mencari jati diri
yang sebenarya. Di masa ini mereka memiliki rasa ini tahu yang tinggi bahkan
menyelidki atau mencoba hal-hal yang negative. Dalam hal ini pendidikan moral
sangat penting sebagai pembentuk pribadi yang berakhlak mulia dalam menghadapi
berbagai dimensi kehidupan.
Sekarang kita harus menyadari
bahwa pendidikan moral sangatlah penting, tidak hanya untuk anak remaja saja
namun berlaku untuk semua usia. Mengingat banyaknya pengaruh budaya asing yang
masuk di Negara kita ini, maka dari itu perlunya kerja keras untuk menghadai
masalah yang sampai saat ini juga masih perlu penanganan khusus.
Apalagi
di era globalisasi perkembangan iptek banyak membawa dampak negative bagi
remaja. Terutama krisis moral seperti pergaulan bebas atau seks bebas. Dalam
hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: kurang pendidikan moral
yang mereka dapatkan dan Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan
kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds,
2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di
luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman
(Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja
peran kelompok teman sebaya adalah besar.
Pada
diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat.
Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk
menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku
banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok
teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang
remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et
al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds
(2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi
utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya
hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai
bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan
sebagainya (Conger, 1991).
Untuk itu perlu adanya
pengawasan bagi mereka. Dan selain itu faktor keimanan dan niat untuk
benar-benar menjauhi sikap buruk, peran warga dan media masa sangat berpengaruh
terhadap perkembangan moral remaja. Dimulai dari keluarga, sekolah, dan
masyarakat agar mereka tidak terjerumus dalam hal yang negative.
Pada
remaja saat ini terjadi perubahan dalam konsep-konsep moral ini. Pada saat ini
anak remaja tidak mau lagi menerima konsep-konsep dari hal-hal yang benar dan
yang tidak benar, yang telah ditetapkan oleh orang tuanya atau teman sebayanya.
Bahkan mereka banyak yang membangkang terhadap orang yang lebih tua, terhadap
orang yang menasehati kita.
Bagi
remaja di era globalisasi untuk membentengi diri perlu sikap yang tegas yaitu
bijaksana artinya membuka diri terhadap perkembangan globalisasi, waspada,
selektif artinya mampu memilih yang terbaik serta mempertahankan nilai-nilai
pergaulan sesuai kepribadian bangsa dan menjalankan nilai-nilai agama.Maka dari
itu perlu adanya kesadaran dari setiap individu tersebut, dan untuk bisa
membentengi diri mereka masing-masing dari pengaruh negative dari era
globalisasi pada saat ini yang merusak moral remaja atau bangsa kita ini.
Menjadi
remaja berarti mengerti nilai-nilai, yang berarti tidak hanya memperoleh
pengertian saja tetapi juga dapat menjalankannya atau mengamalkannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral yaitu hubungan harmonis
dalam keluarga, masyarakat, lingkungan sosial, perkembangan nalar, dan peranan
media massa dan perkembangan teknologi modern.
Karakteristik
perkembangan moral antara lain: mulai mampu berfikir abstrak, mulai mampu
memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetis, mulai tumbuh kesadaran akan
kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada, keyakinan moral lebih
berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah, keadilan muncul
sebagai kekuatan moral yang dominan, penilaian moral menjadi kurang egosentris,
dan penilaian secara psikologis menjadi lebih mahal.
Kita
pernah punya konsep strategi Repelita Orde Baru –yang menurut saya yang bodoh–
yang bagus, kita melihat hasilnya selama 25 tahun terakhir kemajuan terlihat
nyata, namun sayang konsep yang bagus dikotori oleh moral korupsi yang tinggi.
Kini penguasa pencetus Repelita tersebut hancur, namun sayang sejuta sayang
konsep yang bagus tersebut tidak ditindaklanjuti, seolah-olah yang bagus
menjadi jelek hanya karena keluar dari pikiran pemimpin atau penguasa yang
telah dicap jelek.
Negeri
ini diguncang dari dalam oleh pemimpin-pemimpinnya, dirongrong oleh negeri
tetangga karena dianggap tidak becus memberdayakan wilayah potensial, tak lupa
dipukul keras oleh alam akhir tahun lalu.
Perbedaan
individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap,sesuai dengan umur, faktor
kebudayaan, dan tingkat pemahamannya. Indonesia banyak mengadopsi sistem
pendidikan sekuler, inilah yang membuat hancur pendidikkan di Indonesia
terutama pendidikan akhlak dan moral.
Indonesia
harus mengembangkan pola pendidikan Iran. Jika dikelola dan dikembangkan dengan
baik dan didukung oleh pemerintah, maka pola Iran ini sangat baik dalam
mendidik moral dan akhlak anak-anak ketika menimba ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Detik-Detik Sosiologi. 2012. PT.
Intan Pariwara.
Drs. Sutomo, M.Pd. MGMP Sosiologi.
2012. Kabupaten Blitar.
Koswara, E. 1991. Teori-Teori
Kepribadian. Bandug : PT. Eresco.
M.A, Soeslowaindradini.
Psikologi Perkembangan (Masa Remaja). Surabaya : Usaha Nasional.
Soekanto, Soejono. 1990.
Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
keren bro,,ini sangat membantu tugas kampusku
ReplyDelete